Senin, 23 Mei 2011

“ Pendekatan psikologis dalam tindakan preventive pada anak “

PENDEKATAN PSIKOLOGIS
1. Definisi
- suatu pendekatan pada pasien dengan cara memahami diri atau psikologi pasien,yang berorientasi pd pnelitian psikologis yg terintegrasi pd behaviorism
2. Macam
- Preparatory information
• kecemasan Karena orang tua terkait erat dengan perilaku anak-anak, strategi yang bertujuan untuk mengurangi kecemasan orang tua juga dapat memperbaiki perilaku anak-anak. Membantu orang tua untuk memahami apa yang akan terjadi memungkinkan mereka untuk mempersiapkan anak dan meningkatkan aliansi pengobatan. (4) Informasi Persiapan dikirim sebelum pertemuan pertama yang diproduksi meningkat perilaku dibandingkan dengan anak-anak yang orangtuanya belum menerima informasi (19,20) dan ibu juga melaporkan bahwa informasi itu bermanfaat (20) Sebuah keuntungan yang tidak terduga mungkin juga penurunan janji rusak.. (49)

- Non verbal communication
• aspek non verbal dampak komunikasi pada kualitas emosional hubungan, untuk indikasi contoh persahabatan tampaknya lebih bergantung pada nonverbal dari perilaku verbal (50) Pesan yang disampaikan oleh lingkungan maupun oleh individu.. Poster menggambarkan efek dari penyakit yang bertujuan untuk orang dewasa mungkin menakut-nakuti anak-anak (30) Pentingnya nonverbamessages dikonfirmasi oleh studi observasional anak usia 3-5 tahun menjalani perawatan gigi yang menunjukkan bahwa menepuk lembut seorang anak takut dapat mengurangi kemungkinan tersebut. perilaku terus, sambil menahan dan menahan lebih cenderung meningkatkan perilaku seperti itu.
- Voice control
• McKnight et al (23) menyatakan bahwa 98% dari dokter gigi Amerika digunakan kontrol suara meskipun orang tua mungkin menemukan teknik ini sedikit diterima (24) kepribadian dokter gigi mungkin juga penting karena beberapa individu akan selalu bahagia untuk meningkatkan suara mereka.. (25 ) Meskipun teknik ini telah terbukti efektif (22) telah menyarankan bahwa ekspresi wajah juga dapat menjadi komponen penting (51.)

- Tell-show-do
• Katakan-show-lakukan adalah suatu teknik menggunakan beberapa konsep dari teori belajar pertama kali dilaporkan oleh Addelston (52) Hal ini banyak digunakan dalam kedokteran gigi anak-anak (23,24,41) dan diterima dengan baik oleh orang tua.. (53) Teknik ini bekerja dengan baik dikombinasikan dengan perilaku membentuk tetapi ada sedikit penelitian yang berkaitan dengan penggunaannya. Howitt & Stricker (54) mengevaluasi pendekatan menyimpulkan bahwa itu berguna dengan tingkat kecemasan rendah tetapi tidak menemukan bukti untuk mendukung kegunaannya dengan anak-anak sangat cemas. Baru-baru ini telah ditunjukkan untuk mengurangi kecemasan antisipatif pada pasien anak baru, bagaimanapun, itu kurang bermanfaat pada anak-anak dengan pengalaman gigi sebelumnya. (26)

- Enhancing control
• Kontrol dalam pengertian ini tidak berarti kemungkinan menghindari situasi melainkan kemungkinan mempengaruhi bagaimana hal itu dialami. Wardle (27) mewawancarai dua kelompok pasien setelah perawatan. Kelompok pertama telah diberi thesecond sinyal berhenti tidak. Hanya 15% dari pasien yang menggunakan sinyal berhenti melaporkan adanya rasa sakit selama pengobatan dibandingkan dengan 50% dari kelompok tanpa sinyal.

- Behavior shaping and positive reinforcement
• pembentukan dan penguatan positif Perilaku
Banyak prosedur gigi membutuhkan perilaku cukup kompleks dan tindakan dari pasien kami yang perlu dijelaskan dan dipelajari. Untuk anak-anak ini membutuhkan langkah-langkah yang jelas kecil. Proses ini disebut membentuk perilaku. Ini terdiri dari serangkaian langkah-langkah pasti terhadap perilaku yang ideal (30) Hal ini paling mudah dicapai oleh penguatan selektif.. Penguatan adalah penguatan pola perilaku, meningkatkan kemungkinan bahwa perilaku yang ditampilkan kembali di masa mendatang (31) Segala sesuatu yang anak menemukan menyenangkan atau memuaskan dapat bertindak sebagai penguat positif,. Stiker atau lencana sering digunakan pada akhir sebuah janji yang sukses. Namun, reinforcers yang paling kuat adalah rangsangan sosial, seperti, ekspresi wajah, modulasi suara positif, pujian lisan, persetujuan memeluk. (32) Seorang anak berpusat, respon empatik memberikan pujian yang spesifik, misalnya, "seperti aku cara Anda tetap buka mulut Anda "telah terbukti lebih efektif daripada komentar umum seperti" Gadis baik "(32). Seperti TSD penggunaan bahasa usia tertentu adalah penting. (2)
Teknik ini berguna untuk semua pasien yang bisa berkomunikasi. Tidak ada kontraindikasi.

- Modeling
• Pemodelan
Teknik ini didasarkan pada prinsip psikologis bahwa orang belajar tentang lingkungan mereka dengan mengamati perilaku orang lain, menggunakan model, baik hidup (33,34) atau dengan video (35,36) untuk menunjukkan perilaku yang tepat dalam lingkungan gigi. Hal ini mungkin menunjukkan perilaku yang sesuai melalui pihak ketiga, kecemasan penurunan dengan menunjukkan hasil yang positif untuk sebuah prosedur anak membutuhkan sendiri, dan menggambarkan imbalan untuk melakukan tepat. (37) Untuk efek terbaik model harus usia yang sama sebagai anak target, harus menunjukkan perilaku yang sesuai dan dipuji. Mereka juga harus diperlihatkan memasuki dan meninggalkan operasi. (37)
Teknik ini berguna di mana suatu model yang sesuai tersedia.

- Distraction
• selingan
Pendekatan ini bertujuan untuk mengalihkan perhatian pasien dari pengaturan gigi untuk beberapa situasi lain, atau dari prosedur yang berpotensi tidak menyenangkan untuk beberapa tindakan lain. Kartun telah ditunjukkan untuk mengurangi perilaku mengganggu pada anak-anak bila dikombinasikan dengan penguatan, yaitu ketika anak-anak tahu kartun akan dimatikan jika mereka tidak berperilaku (38) Kemudian studi menunjukkan bahwa pita audio dapat lebih efektif.. (39) distraktor jangka pendek seperti mengalihkan perhatian dengan menarik bibir sebagai obat bius lokal yang diberikan atau memiliki pasien mengangkat kaki mereka untuk menghentikan mereka tersedak selama radiografi mungkin juga berguna. Dokter gigi yang berbicara sambil menerapkan pasta topikal dan melaksanakan anestetik lokal juga menggunakan gangguan dengan kata-kata. (2)
Teknik ini berguna untuk semua pasien yang secara verbal dapat berkomunikasi. Tidak ada kontraindikasi.

- Systematic desensitization (SD )
• desensitisasi sistematis (SD)
Teknik ini membantu individu dengan ketakutan tertentu atau fobia mengatasinya oleh kontak berulang. Sebuah hirarki dari rangsangan ketakutan-memproduksi dibangun, dan pasien terkena kepada mereka secara teratur, dimulai dengan stimulus berpose ancaman terendah. Dalam hal gigi, ketakutan biasanya berhubungan dengan prosedur tertentu seperti penggunaan anestesi lokal. Pertama, pasien diajarkan untuk bersantai, dan di negara ini masing-masing terkena rangsangan dalam hirarki pada gilirannya, hanya maju ke depan ketika mereka merasa mampu. Contoh dari hirarki untuk anestesi lokal ditunjukkan pada Tabel 2. Untuk fobia benar beberapa sesi relaksasi dengan seorang psikolog atau dokter gigi yang telah menerima pelatihan dalam teknik relaksasi atau hipnosis mungkin diperlukan (2) Memang. Satu melaporkan kasus diperlukan sesi jam 9 panjang dengan terapis. (40) Namun demikian, pendekatan serupa bisa digunakan untuk anak-anak yang telah memiliki pengalaman negatif di masa lalu. (41)
Teknik ini berguna untuk seorang anak yang dengan jelas dapat mengidentifikasi ketakutan mereka dan yang secara verbal dapat berkomunikasi.

- Negative reinforcement
• penguatan Negatif
Pengaruh yang kuat dari penguatan positif telah dibahas sudah. penguatan negatif juga telah digunakan dalam praktek gigi. Ini adalah penguatan pola perilaku oleh penghapusan stimulus yang merasakan sebagai individu yang tidak menyenangkan (a penguat negatif) segera setelah perilaku yang dibutuhkan dipamerkan. Stimulus diterapkan ke semua aksi kecuali satu yang diperlukan, sehingga menguatkannya dengan penghilangan stimulus negatif. Seharusnya tidak bingung dengan hukuman, yang merupakan aplikasi dari suatu stimulus yang tidak menyenangkan terhadap perilaku yang tidak pantas.
Terkenal contoh dalam praktek gigi Hand ke mulut (HOM) dan pengucilan selektif orang tua (September).
HOM menahan melibatkan anak di kursi gigi, menempatkan tangan ke mulut (untuk memungkinkan anak untuk mendengar). Hidung tidak harus ditutupi. dokter gigi kemudian berbicara lirih kepada anak menjelaskan bahwa tangan akan dihapus segera setelah berhenti menangis. Segera setelah ini terjadi tangan diangkat dan anak memuji. Jika protes mulai lagi tangan diganti. Teknik ini bertujuan untuk memperoleh perhatian anak dan memungkinkan komunikasi, memperkuat perilaku yang baik dan menetapkan penghindaran yang sia-sia (42) Mereka yang mendukung teknik merekomendasikan hal ini untuk anak usia 4-9 tahun ketika komunikasi hilang atau selama amarah.. (41 , 42) persetujuan orangtua yang penting dan teknik seharusnya tidak pernah digunakan pada anak-anak yang terlalu muda untuk memahami atau dengan gangguan intelektual atau emosional. (43)
Sementara masih digunakan di Amerika Utara (44) teknik ini masih kontroversial (25,45) Tidak ada studi tentang efektivitas HOM.. legalitas Its (berkaitan dengan menahan diri dan hak-hak individu) juga telah dipertanyakan. (25)
pengecualian selektif orang tua (September) kurang kontroversial tetapi menggunakan prinsipal serupa. Indikasi untuk September adalah sama seperti untuk HOM. persetujuan orang tua diperlukan. Ketika perilaku yang tidak pantas adalah dipamerkan orangtua diminta untuk meninggalkan. Idealnya, orangtua harus mampu mendengar, tetapi tidak terlihat anak. Ketika perilaku yang tepat dipamerkan orangtua diminta untuk kembali, sehingga menguatkan perilaku itu.

3. Tujuan
- untuk memahami karakteristik seorang pasien shg dapat dilakukan suatu upaya yg kita kehendaki
- membantu dalam tatalaksana tindakan / perawatan yang akan dilakukan
4. Kendala :
Dokter : tidak komunikatif,
Pasien: tidak kooperatif
5. Fungsi :
Dokter :melatih kesabaran dokter,
Pasien : mendapatkan tindakan
6. Cara/aplikasi
7. Apakah setiap pasien memerlukan pendkatan psiko?ciri?tidak mesti,dengan melihat sikon

PERAWATAN PREVENTIVE ( FISSURE SEALANT )
1. Definisi
o merupakan bahan yang diletakkan pada pit dan fisura gigi yang bertujuan untuk mencegah proses karies gigi (J.H. Nunn et al, 2000).
o
2. Fungsi
menutup pit dan fissure dg tujuan menghambat karies
3. Tujuan
o agar terjadinya penetrasi bahan ke dalam pit dan fisura serta berpolimerisai dan menutup daerah tersebut dari bakteri dan debris (Kenneth J Anusavice, 2004: 260-261). Bahan sealant ideal mempunyai kemampuan retensi yang tahan lama, kelarutan terhadap cairan mulut rendah, biokompatibel dengan jaringan rongga mulut, dsn mudah diaplikasikan (Donna Lesser, 2001)
o agar sealant berpenetrasi dan menutup semua celah, pit dan fisura pada permukaan oklusal baik gigi sulung maupun permanent. Area tersebut diduga menjadi tempat awal terjadinya karies dan sulit dilakukan pembersihan secara mekanis
(Robert G.Craig :1979: 29).

4. Indikasi dan kontra indikasi
Indikasi
o Dalam, pit dan fisura retentive
o Pit dan fisura dengan dekalsifikasi minimal
o Karies pada pit dan fisura atau restorasi pada gigi sulung atau permanen lainnya
o Tidak adanya karies interproximal
o Memungkinkan isolasi adekuat terhadap kontaminasi saliva
o Umur gigi erupsi kurang dari 4 tahun.
Kontraindikasi
o Self cleansing yang baik pada pit dan fisura
o Terdapat tanda klinis maupun radiografis adanya karies interproximal yang memerlukan perawatan
o Banyaknya karies interproximal dan restorasi
o Gigi erupsi hanya sebagian dan tidak memungkinkan isolasi dari kontaminasi saliva
o Umur erupsi gigi lebih dari 4 tahun.
(M. John Hick dalam J.R Pinkham, 1994: 459-61)
Pertimbangan lain dalam pemberian sealant juga sebaiknya diperhatikan. Umur anak berkaitan dengan waktu awal erupsi gigi-gigi tersebut. Umur 3-4 tahun merupakan waktu yang berharga untuk pemberian sealant pada geligi susu; umur 6-7 tahun merupakan saat erupsi gigi permanen molar pertama; umur 11-13 tahun merupakan saatnya molar kedua dan premolar erupsi. Sealant segera dapat diletakkan pada gigi tersebut secepatnya. Sealant juga seharusnya diberikan pada gigi dewasa bila terbukti banyak konsumsi gula berlebih atau karena efek obat dan radiasi yang mengakibatkan xerostomia (Norman O. Harris, 1999: 245-6).

5. Bahan :
A. Resin
• Bahan sealant berbasis resin dapat melakukan polimerisasi secara autopolimerisasi dan fotopolimerisasi
• Sealant berbasis resin bertahan lebih lama dan kuat karena memiliki kemampuan penetrasi yang lebih bagus. Hal ini karena adanya proses etsa pada enamel gigi yang menghasilkan kontak yang lebih baik antara bahan resin dengan permukaan enamel (Mahadevan Ganesh, 2007).
• Etsa menghilangkan mineral enamel gigi dan menghasilkan resin tag dan secara klinis nampak lebih putih dan pudar. Bahan sealant yang diberikan pada area yang dietsa akan berpenetrasi ke dalam resin tag. Hal ini dapat meningkatkan retensi mekanis bahan sealant dengan permukaan enamel gigi (Carline Paarmann, 1991:13).
a. Bahan matriks resin
Bahan matriksnya adalah bisfenol A-glisidil metakrilat (bis-GMA), suatu resin dimetakrilat. Karena bis-GMA memiliki berat molekul yang lebih tinggi dari metal metakrilat, kepadatan gugus metakrilat berikatan ganda adalah lebih rendah dalam monomer bis-GMA, suatu faktor yang mengurangi pengerutan polimerisasi. Penggunaan dimetakrilat juga menyebabkan bertambahnya ikatan silang dan perbaikan sifat polimer (Kenneth J Anusavice, 2004: 230).
Bis-GMA, urethane dimetrakilat (UEDMA), dan trietil glikol dimetakrilat (TEGDMA) adalah dimetakrilat yang umum digunakan dalam komposit gigi. Monomer dengan berat molekul tinggi, khususnya bis-GMA amatlah kental pada temperature ruang. Penggunaan monomer pengental penting untuk memperoleh tingkat pengisi yang tinggi dan menghasilkan konsistensi pasta yang dapat digunakan secara klinis. Pengencer bisa berupa monomer metakrilat dan monomer dimetakrilat (Kenneth J Anusavice, 2004: 230).
Kebanyakan bahan resin saat ini menggunakan molekul bis-GMA, yang merupakan monomer dimetakrilat yang disintesis oleh reaksi antara bisfenol-A dan glisidil metakrilat. Reaksi ini dikatalisasi melalui sistem amine-peroksida (Lloyd Baum, 1997: 254).
b. Partikel bahan pengisi
Dimasukkannya partikel bahan pengisi ke dalam suatu matriks secara nyata meningkatkan sifat bahan matriks bila partikel pengisi benar-benar berikatan dengan matriks. Penyerapan air dan koefisiensi termal dari komposit juga lebih kecil dibandingkan dengan resin tanpa bahan pengisi. Sifat mekanis seperti kekuatan kompresi, kekuatan tarik, dan modulus elastis membaik, begitu juga ketahanan aus. Semua perbaikan ini terjadi dengan peningkatan volume fraksi bahan pengisi (Kenneth J Anusavice, 2004: 230-1).
Bis-GMA saat ini merupakan matriks resin pilihan sebagai bahan sealant. Bisa dengan atau tanpa bahan pengisi. Penambahan bahan pengisi meliputi serpih kaca mikroskopis, partikel quartz dan bahan pengisi lainnya. Bahan ini membuat sealant lebih tahan terhadap abrasi (Norman O. Harris, 1999: 246).
Bahan yang digunakan bahan pengisi makro adalah partikel-partikel halus dari komponen silika, cristalin quartz, atau silikat glass boron. Quartz telah digunakan secara luas sebagai bahan pengisi. Quartz memiliki keunggulan sebagai bahan kimia yang kuat. Sementara sifat radiopak bahan pengisi disebabkan oleh sejumlah kaca dan porselen yang mengandung logam berat seperti barium, strontium dan zirconium. Penambahan bahan pengisi mengurangi pengerutan pada saat polimerisasi dan menambah kekerasan (Lloyd Baum, 1997: 254).
c. Bahan coupling
Bahan pengisi sangatlah penting berikatan dengan matriks resin. Hal ini memungkinkan matriks polimer lebih fleksibel dalam meneruskan tekanan ke partikel yang lebih kaku. Ikatan antara 2 fase komposit diperoleh dengan bahan coupling. Aplikasi bahan coupling yang tepat dapat meningkatan sifat mekanis dan fisik serta memberikan kestabilan hidrolitik dengan mencegah air menembus sepanjang antar bahan pengisi dan resin. γ-metakriloksipropiltrimetoksi silane adalah bahan yang sering digunakan sebagai bahan coupling (Kenneth J Anusavice, 2004: 230-1).
d. Penghambat
Untuk mencegah polimerisasi spontan dari monomer, bahan penghambat ditambahkan pada sistem resin. Penghambat ini mempunyai potensi reaksi kuat dengan radikal bebas. Bila radikal bebas telah terbentuk, bahan penghambat akan bereaksi dengan radikal bebas kemudian menghambat perpanjangan rantai dengan mengakhiri kemampuan radikal bebas untuk mengawali proses polimerisasi. Bahan penghambat yang umum digunakan adalah butylated hydroxytoluene (Kenneth J. Anusavice, 2004: 232).
e. Sifat bahan resin
Secara umum resin memiliki sifat mekanis yang baik, kelarutan bahan resin sangat rendah. Sifat termis bahan resin sebagai isolator termis yang baik. Bahan resin memiliki koefisien termal yang tinggi. Kebanyakan resin bersifat radiopaque (E.C Combe, 1992: 176-7).
Resin memiliki karakteristik warna yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan perawatan. Sifat mekanis yang baik sehingga dapat digunakan pada gigi dengan beban kunyah besar. Terjadinya pengerutan selama proses polimerisasi yang tinggi menyebabkan kelemahan klinis dan sering menyebabkan kegagalan. Kebocoran tepi akibat pengerutan dalam proses polimerisasi dapat menyebabkan karies sekunder. Pemolesan bahan harus bagus karena kekasaran pada permukaan komposit dapat dijadikan tempat menempelnya plak (Kenneth J Anusavice, 2004: 247).
f. Indikasi fisure sealant berbasis resin
Penggunaan sealant berbasis resin digukanan pada hal berikut:
a. Digunakan pada geligi permanen
b. Kekuatan kunyah besar
c. Insidensi karies relatif rendah
d. Gigi sudah erupsi sempurna
e. Area bebas kontaminasi atau mudah dikontrol
f. Pasien kooperatif, karena banyaknya tahapan yang membutuhkan waktu lebih lama.

2.7 Pengerasan Sealant Berbasis Resin
Terdapat dua tipe bis-GMA yaitu yang mengalami polimerisasi setelah pencampuran komponen katalis dan yang mengalami polimerisasi hanya setelah sumber sinar yang sesuai. Sampai sekarang sinar ultraviolet (panjang gelombang 365 nm) telah digunakan, tetapi telah banyak digantikan oleh sinar tampak (biru) dengan panjang gelombang 430-490 nm (R.J Andlaw, 1992: 58).
2.7.1 Pengerasan Sealant Berbasis Resin secara Otomatis
Proses ini kadang disebut dengan cold curing, chemical curing, atau self curing. Bahan yang dipasok dalam 2 pasta, satu mengandung inisiator benzoil peroksida dan lainnya mengandung amin tersier. Bila kedua pasta diaduk, amin bereaksi dengan benzoil peroksida untuk membentuk radikal bebas dan polimerisasi tambahan dimulai (Kenneth J. Anusavice, 2004: 232).
Sealant bis-GMA dipolimerisasi oleh bahan amina organik akselerator yang terdiri atas dua sistem komponen. Komponen pertama berisi bis-GMA tipe monomer dan inisiator benzoil peroksida, dan komponen kedua berisi tipe monomer bis-GMA dengan akselerator 5% amina organik. Monomer bis-GMA dilarutkan dengan monomer metal metakrilat. Sebuah bahan sealant komersil berisi pigmen putih, dimana mengandung 40% bahan partikel quartz dengan diameter rata-rata 2 mikrometer. Kedua komponen tadi bercampur sebelum diaplikasikan ke gigi dan berpolimerisasi ikatan silang sebagai reaksi sederhana (Norman O.Harris, 1979: 30)
Pada bahan ini operator tidak memiliki kemampuan mengendalikan waktu kerja setelah bahan diaduk. Jadi pembentukan kontur restorasi harus diselesaikan begitu tahap inisiasi selesai. Jadi proses polimerisasi terus-menerus terganggu sampai operator telah menyelesaikan proses pembentukan kontur restorasi (Kenneth J. Anusavice, 2004: 235).

2.7.2 Pengerasan Sealant Berbasis Resin dengan Sinar
Radikal bebas pemula reaksi polimerisasi terdiri atas foto-inisiator dan activator amin terdapat dalam satu pasta. Bila tidak terkena sinar, maka kedua komponen tersebut tidak bereaksi. Pemaparan terhadap sinar dengan panjang gelombang yang tepat (468 nm) merangsang fotoinisiator berinteraksi dengan amin untuk membentuk radikal bebas yang mengawali polimerisasi tambahan.
Foto-inisiator yang digunakan adalah camphoroquinone. Sumber sinar modern biasanya berasal dari bohlam tungsten halogen melalui suatu filter sinar ultra merah dan spectrum sinar tampak dengan panjang gelombang 500 nm (Gambar10). Waktu polimerisasi sekitar 20-60 detik. Untuk mengimbangi penurunan intensitas sinar, waktu pemaparan harus diperpanjang 2 atau 3 kali (Kenneth J. Anusavice, 2004: 232-5).
Saat ini telah tersedia bahan fissure sealant berbasis resin dalam syringe yang akan berpolimerisasi setelah diaktivasi dengan sinar (Gambar 9). Sealant bis-GMA berpolimerisasi dengan sinar ultraviolet (340-400 nm) adalah satu sistem tanpa diperlukan adanya pencampuran. Tiga bahan kental monomer bis-GMA dilarutkan dengan 1 bagian monomer metil metakrilat. Dengan aktivator berupa 2% benzoin metil eter (Robert G. Craig, 1979: 30).
2.8 Teknik Aplikasi Fissure Sealant Berbasis Resin
2.8.1 Pembersihan pit dan fisura pada gigi yang akan dilakukan aplikasi fissure sealant menggunakan brush dan pumis (Gambar 1)
Syarat pumis yang digunakan dalam perawatan gigi:
a. Memiliki kemampuan abrasif ringan
b. Tanpa ada pencampur bahan perasa
c. Tidak mengandung minyak
d. Tidak mengandung Fluor
e. Mampu membersihkan dan menghilangkan debris, plak dan stain
f. Memiliki kemampuan poles yang bagus
2.8.2 Pembilasan dengan air
Syarat air:
a. Air bersih
b. Air tidak mengandung mineral
c. Air tidak mengandung bahan kontaminan
2.8.3 Isolasi gigi
Gunakan cotton roll atau gunakan rubber dam
2.8.4 Keringkan permukaan gigi selama 20-30 detik dengan udara.
Syarat udara :
a. Udara harus kering
b. Udara tidak membawa air (tidak lembab)
c. Udara tidak mengandung minyak
d. Udara sebaiknya tersimpan dalam syringe udara dan dihembuskan langsung ke permukaan gigi.
2.8.4 Lakukan pengetsaan pada permukaan gigi
a. Lama etsa tergantung petunjuk pabrik
b. Jika jenis etsa yang digunakan adalah gel, maka etsa bentuk gel tersebut harus dipertahankan pada permukaan gigi yang dietsa hingga waktu etsa telah cukup.
c. Jika jenis etsa yang digunakan adalah berbentuk cair, maka etsa bentuk cair tersebut harus terus-menerus diberikan pada permukaan gigi yang dietsa hingga waktu etsa telah cukup.
2.8.5 Pembilasan dengan air selama 60 detik
Syarat air sama dengan point 2.
2.8.6 Pengeringan dengan udara setelah pengetsaan permukaan pit dan fisura
a. Syarat udara sama dengan point 3.
b. Cek keberhasilan pengetsaan dengan mengeringkannya dengan udara, permukaan yang teretsa akan tampak lebih putih
c. Jika tidak berhasil, ulangi proses etsa
d. Letakkan cotton roll baru, dan keringkan
e. Keringkan dengan udara selama 20-30 detik
2.8.7 Aplikasi bahan sealant
a. Self curing: campurkan kedua bagian komponen bahan, polimerisasi akan terjadi selama 60-90 detik.
b. Light curing: aplikasi dengan alat pabrikan (semacam syringe), aplikasi penyinaran pada bahan, polimerisasi akan terjadi dalam 20-30 detik.
2.8.8 Evaluasi permukaan oklusal
a. Cek oklusi dengan articulating paper
b. Penyesuaian dilakukan bila terdapat kontak berlebih (spot grinding)
(Donna Lesser, 2001)
B. GIC
• Sedangkan sealant SIK yang sering digunakan bersifat autopolimerisasi
(Sari Kervanto, 2009: 20)
• Sealant ionomer kaca memiliki kemampuan mencegah karies yang hampir sama dengan sealant berbasis resin. Manipulasi sealant semen ionomer kaca lebih mudah, dan tidak diperlukan tahapan pengetsaan pada permukaan gigi (Subramaniam, 2008).
• Berbeda dengan sealant berbasis resin, bahan sealant semen ionomer kaca melakukan interaksi khusus dengan enamel gigi dengan melepaskan kalsium, strontium dan ion fluor yang bersifat kariostatik dan mengurangi perkembangan karies pada daerah yang diberi sealant (Laurence J. Walsh, 2006).
2.9 Bahan Sealant Semen Ionomer Kaca
Semen ionomer kaca adalah nama generik dari sekelompok bahan yang menggunakan bubuk kaca silikat dan larutan asam poliakrilat. Bahan ini mendapatkan namanya dari formulanya yaitu suatu bubuk kaca dan asam ionomer yang mengandung gugus karboksil. Juga disebut sebagai semen polialkenoat. Bahan dalam semen ionomer kaca terdiri atas bubuk dan cairan.
a. Bubuk semen ionomer kaca
Bubuk adalah kaca kalsium fluoroaluminosilikat yang larut dalam asam. Komposisi dari bubuk semen ionomer kaca adalah silica, alumina, aluminium fluoride, calsium fluoride, sodium fluoride, dan aluminium phosphate. Bahan-bahan mentah digabung sehingga membentuk kaca yang seragam dengan memanaskannya samapi temperature 1100-1500 ºC. Lanthanum, strontium, barium, atau oksida seng ditambahkan untuk menimbulkan sifat radiopak (Kenneth J. Anusavice, 2004: 449).
b. Cairan semen ionomer kaca
Cairan yang digunakan untuk semen ini adalah larutan asam poliakrilat dengan konsentrasi 50%. Cairannya cukup kental dan cenderung membentuk gel setelah beberapa waktu. Pada sebagian besar semen, asam poliakrilat dalam cairan adalah dalam bentuk kopolimer dengan asam itikonik, maleik atau trikarbalik. Asam-asam ini cenderung menambah reaktivitas dari cairan, mengurangi kekentalan, dan mengurangi kecenderungan membentuk gel. Selain itu, memperbaiki karakteristik manipulasi dan meningkatkan waktu kerja dan memperpendek waktu pengerasan (Lloyd Baum, 1997: 254).
c. Pengerasan
Ketika bubuk dan cairan dicampur untuk membentuk suatu pasta (gambar 2), permukan partikel kaca akan terpajan asam. Ion-ion kalsium, aluminium, natrium dan fluorin dilepaskan ke dalam media yang bersifat cair. Rantai asam poliakrilat akan berikatan silang dengan ion-ion kalsium dan membentuk masa yang padat.
Selama 24 jam berikutnya, terbentuk fase baru dimana ion-ion aluminium menjadi terikat dalam campuran semen. Ini membuat semen menjadi lebih kaku. Ion natrium dan fluorin tidak berperan serta di dalam ikatan silang dari semen. Beberapa ion natrium dapat menngantikan ion-ion hidrogen dari gugus karboksil, sementara sisanya bergabung dengan ion-ion fluorin membentuk natrium fluoride yang menyebar merata di dalam semen yang mengeras (Kenneth J. Anusavice, 2004: 451).
Mekanisme pengikatan ionomer kaca dengan struktur gigi belum dapat diterangkan dengan jelas. Meskipun demikian, perekatan ini diduga terutama melibatkan proses kelasi dari gugus karboksil dari poliasam dengan kalsium di kristal apatit pada enamel dan dentin. Ikatan antara semen dengan enamel selalu lebih besar daripada ikatannya dengan dentin, mungkin karena kandungan anorganiknya enamel yang lebih banyak dan homogenitasnya lebih besar (Kenneth J. Anusavice, 2004: 452).
d. Sifat semen ionomer kaca
Semen ini memiliki sifat kekerasan yang baik, namun jauh inferior dibanding kekerasan bahan resin. Kemampuan adhesi melibatkan proses kelasi dari gugus karboksil dari poliasam dengan kalsium di kristal apatit enamel dan dentin. Semen ini memiliki sifat anti karies karena kemampuannya melepaskan fluor. Dalam proses pengerasan harus dihindarkan dari saliva karena mudah larut dalam cairan dan menurunkan kemampuan adhesi. Ikatan fisiko kimiawi antara bahan dan permukaan gigi sangat baik sehingga mengurangi kebocoran tepi tumpatan (Kenneth J. Anusavice, 2004: 453).
e. Indikasi fisure sealant semen ionomer kaca
Indikasi penggunaan Fissure sealant dengan semen ionomer kaca sebagai berikut:
a. Digunakan pada geligi sulung
b. Kekuatan kunyah relatif tidak besar
c. Pada insidensi karies tinggi
d. Gigi yang belum erupsi sempurna
e. Area yang kontaminasi sulit dihindari
f. Pasien kurang kooperatif

2.10 Teknik Aplikasi Fissure Sealant dengan Sealant Semen Ionomer Kaca
2.10.1 Pembersihan pit dan fisura pada gigi yang akan dilakukan aplikasi fissure sealant menggunakan brush dan pumis (Gambar 1)
Syarat pumis yang digunakan dalam perawatan gigi:
a. Memiliki kemampuan abrasif ringan
b. Tanpa ada pencampur bahan perasa
c. Tidak mengandung minyak
d. Tidak mengandung Fluor
e. Mampu membersihkan dan menghilangkan debris, plak dan stain
f. Memiliki kemampuan poles yang bagus
2.10.2 Pembilasan dengan air
Syarat air:
a. Air bersih
b. Air tidak mengandung mineral
c. Air tidak mengandung bahan kontaminan
2.10.3 Isolasi gigi
Gunakan cotton roll atau gunakan rubber dam
2.10.4 Keringkan permukaan gigi selama 20-30 detik dengan udara.
Syarat udara :
a. Udara harus kering
b. Udara tidak membawa air (tidak lembab)
c. Udara tidak mengandung minyak
d. Udara sebaiknya tersimpan dalam syringe udara dan dihembuskan langsung ke permukaan gigi.
2.10.5 Aplikasi bahan dentin kondisioner selama 10-20 detik (tergantung instruksi pabrik). Hal ini akan menghilangkan plak dan pelikel dan mempersiapkan semen beradaptasi dengan baik dengan permukaan gigi dan memberikan perlekatan yang bagus (Gambar 3).
2.10.6 Pembilasan dengan air selama 60 detik
Syarat air sama dengan point 2.
2.10.7 Pengeringan dengan udara setelah aplikasi dentin kondisioner permukaan pit dan fisura dilakukan pembilasan
a. Syarat udara sama dengan point 3.
b. Keringkan dengan udara selama 20-30 detik
2.10.8 Aplikasikan bahan SIK pada pit dan fisura (Gambar 4).
2.10.9 Segera aplikasi bahan varnish setelah aplikasi fissure sealant dilakukan (Gambar 5).
2.10.10 Evaluasi permukaan oklusal
a. Cek oklusi dengan articulating paper
b. Penyesuaian dilakukan bila terdapat kontak berlebih (spot grinding)
(Departemen Kesehatan North Sidney, 2008)
C. resin komposit modified glass ionomer
D. GIC modified resin(kompomer)








6. Cara
TAHAPAN APLIKASI FISSURE SEALANT BERBASIS SEMEN IONOMER KACA (Gambar 1-6)
(Dr J. Lucas dalam www. gcasia.info, 2008)




















Gambar 1. Gigi molar yang baru erupsi setelah dilakukan penyikatan guna menghilangkan plak dan debris.





Gambar 2. Pencampuran bahan fissure sealant hingga merata.





Gambar 3. Pemberian kondisioner setelah gigi dibersihkan dan dikeringkan.





Gambar 4. Aplikasi bahan pada pit dan fisura.





Gambar 5. Aplikasi bahan varnish segera setelah aplikasi bahan selesai.






Gambar 6. gigi molar yang telah dilakukan fissure sealant.




TAHAPAN APLIKASI FISSURE SEALANT BERBASIS RESIN (Gambar 7-12)
(Dr. Crist Bryant dalam Donna Lesser, RDH, BS. 2001)



Gambar 7. Pit dan fisura pada gigi.






Gambar 8. Gigi molar yang telah dilakukan fissure sealant dengan fissure sealant berbasis resin.





Gambar 9. Bahan fissure sealant berbasis resin (light cure).





Gambar 10. Aplikasi sinar tampak untuk membantu proses polimerisasi fissure sealant berbasis resin




Gambar 11. Gigi-gigi yang telah dilakukan fissure sealant berbasis resin berwarna pink sebelum polimerisasi.



Gambar 12. Gigi-gigi yang telah dilakukan fissure sealant berbasis resin sewarna gigi setelah polimerisasi.




Apa hubungan pendekatan psikologis thd upaya preventif pada gigi anak??

Smakin bagus upya pndkatan psiklogis pd anak,upaya preventif akan tercapai.

Minggu, 22 Mei 2011

“ FRAKTUR MANDIBULA “

A. FRAKTUR MANDIBULA

1. Definisi
- Rusaknya kontinuitas tulang mandibular yang dapat disebabkan oleh trauma baik secara langsung atau tidak langsung.
- Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan sendi, tulang rawan epifisis, baik yang bersifat total maupun parsial, yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa.
Trauma yang menyebabkan tulang patah dapat berupa trauma langsung dan trauma tidak langsung. Trauma pada wajah sering melibatkan tulang-tulang pembentuk wajah, diantaranya mandibula.
Mandibula merupakan bagian dari tulang wajah yang sering mengalami cedera karena posisinya yang menonjol, dan merupakan sasaran pukulan dan benturan.
Trauma yang terjadi pada mandibula sering menimbulkan farktur yang menganggu fungsi pengunyahan. Fraktur mandibula adalah salah satu cedera wajah yang sering ditemukan dan biasanya disebabkan oleh trauma langsung.
Penyebab utama dari fraktur di seluruh dunia adalah kecelakaan lalu lintasdankekerasan.
Sepertiga fraktur mandibula terjadi di daerah kondilar-subkondilar, sepertiga terjadi di daerah angulus, dan sepertiga lainnya terjadi di daerah korpus, simfisis, dan parasimfisis. Daerah-daerah tersebut merupakan daerah lemah pada mandibula. Angulus diperlemah oleh adanya gigi molar ketiga dan ke anterior, daerah parasimfisis diperlemah oleh akar gigi taring yang panjang, dan daerah subkondilar merupakan daerahyangtipis.
Oleh karena mandibula bagian tersering mengalami fraktur pada trauma dibagian wajah, penting untuk mengetahui dengan tepat penanganan awal, tindakan perbaikan serta mewaspadai komplikasi yang akan terjadi, dari teknik yang dipilih untuk kesembuhan yang sempurna baik dari segi fungsi pengunyahan dan estetika wajah.
Penatalaksanaan fraktur mandibula dilakukan berdasarkan beberapa prinsip dental dan ortopedi meliputi : 1) reduksi dari sisi yang fraktur sesuai bentuk anatomi yang benar; 2) restorasi oklusi yang salah; 3) imobilisasi untuk menunjang kesembuhan; 4) restorasi fungsi seoptimal dan seawal mungkin serta 5) pencegahan infeksi. (3,4)
- Fraktur atau patah tulang rahang adalah hilangnya kontuinitas pada rahang. Pada daerah rahang meliputi tulang rahang atas (maxilla), rahang bawah (mandibula) yang diakibatkan oleh trauma pada wajah ataupun keadaan patologis, dapat berakibat fatal bila tidak ditangani dengan benar.
- Fraktur mandibula adalah rusaknya kontinuitas tulang mandibular yang dapat disebabkan oleh trauma baik secara langsung atau tidak langsung. Fraktur mandibula dapat terjadi pada bagian korpus, angulus, ramus maupun kondilus (emedicine,2011)
- Fraktur adalah discontinuitas dari jaringan tulang yang biasanya disebabkan oleh adanya kecelakaan yang timbul secara langsung.
- Fraktur mandibula adalah putusnya kontinuitas tulang mandibula. Hilangnya kontinuitas pada rahang bawah (mandibula), yang diakibatkan trauma oleh wajah ataupun keadaan patologis, dapat berakibat fatal bila tidak ditangani dengan benar.

2. Anatomi (emedicine,2011)
- Mandibula adalah tulang rahang bawah pada manusia dan berfungsi sebagai tempat menempelnya gigi geligi rahang bawah. Mandibula berhubungan dengan basis kranii dengan adanya temporo-mandibular joint dan disangga oleh otot – otot mengunyah.

Gambar 14. Anatomi Mandibula (emedicine,2011)
Mandibula dipersarafi oleh saraf mandibular, alveolar inferior, pleksus dental inferior dan nervus mentalis. Sistem vaskularisasi pada mandibula dilakukan oleh arteri maksilari interna, arteri alveolar inferior, dan arteri mentalis.
- Mandibula merupakan tulang yang besar dan paling kuat pada daerah muka, terdapat barisan gigi. Mandibula dibentuk oleh dua bagian simetris, yang mengadakan fusi dalam tahun pertama kehidupan. Tulang ini terdiri dari korpus yaitu suatu lengkungan tapal kuda dan sepasang ramus yang pipih dan lebar, yang mengarah keatas pada bagian belakang dari korpus. Pada ujung dari masing-masing ramus didapatkan dua buah penonjolan disebut prosesus kondiloideus dan prosesus koronoideus. Prosesus kondiloideus terdiri dari kaput dan kolum. Permukaan luar dari korpus mandibula pada garis median, didapatkan tonjolan tulang halus yang disebut simfisis mentum, yang merupakan tempat pertemuan embriologis dari dua buah tulang.
Bagian atas korpus mandibula membentuk tonjolan disebut prosesus alveolaris, yang mempunyai 16 buah lubang untuk tempat gigi. Bagian bawah korpus mandibula mempunyai tepi yang lengkung dan halus. Pada pertengahan korpus mandibula, kurang lebih 1 inci dari simfisis, didapatkan foramen mentalis yang dilalui oleh vasa dan nervus mentalis. Permukaan dalam dari korpus mandibula cekung dan didapatkan linea milohiodea yang merupakan pertemuan antara tepi belakang ramus mandibula. Angulus mandibula terletak subkutan dan mudah diraba pada 2-3 jari di bawah lobulus aurikularis.(9)
Prosesus koronoideus yang tipis dan tajam merupakan tempat insersio m.temporalis. Prosesus kondiloideus membentuk persendian dengan fossa artikularis permukaan infratemporalis dari skuama os temporalis. Kartilago artikuler melapisi bagian superior dan anterior dari prosesus kondiloideus, sedangkan bagian posterior tidak. Permukaan lateral dari prosesus kondiloideus ditutupi oleh kelenjar parotis dan terletak di depan tragus. Antara prosesus koronoideus dan prosesus kondiloideus membentuk sulkus mandibula dimana lewat vasa dan nervus. Kira-kira ditengah dari permukaan medial ramus mandibula didpatkan foramen mandibula. Melalui foramen ini masuk kedalam kanal yang mengarah ke bawah depan di dalam jaringan tulang, dimana dilalui oleh vasa pembuluh darah dan saluran limfe.(9)
Mandibula mendapat nutrisi dari a.alveolaris inferior cabang pertama dari a.maksillaris yang masuk melalui foramen mandibularis, bersama vena dan n.alveolaris. A.alveolaris inferior memberi cabang-cabang ke gigi-gigi bawah serta gusi sekitarnya, kemudian di foramen mentalis keluar sebagai a.mentalis. Sebelum keluar dari foramen mentalis bercabang insisivus yang berjalan ke depan di dalam tulang. A.mentalis beranastomosis dengan a.fasialis, a.submentalis, a.labii inferior. A.submentalis dan a.labii inferior merupakan cabang dari a.facialis. a.mentalis memberi nutrisi ke dagu. Sedangkan aliran balik dari mandibula melalui v.alveolaris inferior ke v.fasialis posterior. V.mentalis mengalirkan darah ke v.submentalis yang selanjutnya mengalirkan darah ke v.fasialis anterior. V. fasialis posterior dan v.fasialis comunis mengalirkan darah ke v.jugularis interna.
Aliran limfe ,mandibula menuju ke limfe node submandibularis yang selanjutnya menuju ke rantai jugularis interna.
N.alveolaris inferior cabang dari n.mandibularis berjalan bersama arteri dan vena alveolaris inferior masuk melalui foramen mandibularis berjalan di kanalis mandibularis memberi cabang sensoris ke gigi bawah, dan keluar di foramen sebagai n.mentalis, merupakan araf sensoris daerah dagu dan bibir bawah.
Ada 4 pasang otot yang disebut sebagai otot pengunyah, yaitu m.masseter, m. temporalis, m.pterigoideus lateralis dan m.pterigoideus medialis. Sedangkan m.digastrikus, walaupun tidak termasuk otot-otot pengunyah, namun mempunyai fungsi yang penting pada mandibula. Bila otot digastrikus kanan dan kiri berkontraksi mandibula bergerak ke bawah dan tertarik ke belakang dan gigi-gigi terbuka. Saat mandibula terstabilisasi m.digastrikus dan m.suprahyoid mengangkat os hyoid, keadaan ini penting untuk proses menelan.
Gerakan mandibula pada waktu mengunyah mempunyai 2 arah, yaitu :
– Rotasi melalui sumbu horisontalyang melalui senteral dari kondilus
– Sliding atau gerakan ke arah lateral dari mandibula pada persendian temporomandibuler.(9)
Mengunyah merupakan suatu proses terdiri dari 3 siklus, yaitu :
a. Fase membuka.
b. Fase memotong, menghancurkan, menggiling. Otot-otot mengalami kontraksi isotonic atau relaksasi. Kontraksi isometric dari elevbator hanya terjadi bila gigi atas dan bawah rapat atau bila terdapat bahan yang keras diantaranya akhir fase menutup.
c. Fase menutup
Pada akhir fase menutup dan fase oklusi didapatkan kenaikan tonus pada otot elevator.(9)
Setelah makanan menjadi lembut berupa suatu bolus dilanjutkan dengan proses menelan. Untuk fungsi buka, katub mulut, mengunyah dan menelan yang baik dibutuhkan :
• Tulang mandibula yang utuh dan rigid
• Oklusi yang ideal
• Otot-otot pengunyah beserta persarafan serta
• Persendian temporomandibular (TMJ) yang utuh.

3. Etiologi
(emedicine,2011)
- Penyebab terbanyak adalah kecelakaan lalu lintas dan sebagian besar adalah pengendara sepeda motor. Sebab lain yang umum adalah trauma pada muka akibat kekerasan, olahraga. Berdasarkan penelitian didapatkan data penyebab tersering fraktur mandibula adalah :
- Kecelakaan berkendara 43%
- Kekerasan 34%
- Kecelakaan kerja 7%
- Jatuh 7%
- Olahraga 4%
- Sebab lain 5%
Fraktur mandibula dapat juga disebabkan oleh adanya kelainan sistemik yang dapat menyebabkan terjadinya fraktur patologis seperti pada pasien dengan osteoporosis imperfekta.
- Setiap pukulan keras pada muka dapat mengakibatkan terjadinya suatu fraktur pada mandibula. Daya tahan mandibula terhadap kekuatan impak adalah lebih besar dibandingkan dengan tulang wajah lainnya (Nahum, 1995). Meskipun demikian fraktur mandibula lebih sering terjadi dibandingkan dengan bagian skeleton muka lainnya.
- Fraktur mandibula dapat terjadi karena kecelakaan lalulintas, kecelakaan industri atau kecelakaan kerja, kecelakaan rumah tangga, mabuk dan perkelahian atau kekerasan fisik. Menurut survey di District of Columbia Hospital, dari 540 kasus fraktur, 69% kasus terjadi akibat kekerasan fisik (perkelahian), 27% akibat kecelakaan lalu-lintas, 12% akibat kecelakaan kerja, 2% akibat kecelakaan saat olahraga dan 4% karena sebab patologi.
- Arah serta tipe impak lebih penting dalam mempertimbangkan fraktur mandibula dibandingkan dengan fraktur di daerah lain pada skeleton fasial, karena faktor ini dipakai untuk menentukan pola injuri mandibular. Fraktur mandibula adalah akibat dari :
• Kecelakaan langsung (direct violence)
• Kecelakaan tidak langsung (indirect violence)
• Kontraksi otot yang sagat berlebihan
Dilihat dari bentuk mandibula, maka setiap kecelakaan langsung yang mengenai satu tempat, akan menghasilkan kekuatan dimensi tidak langsung yang mengenai bagian lain dan biasanya pada bagian yang berlawanan dari tulang. Kecelakaan tidak langsung sudah cukup untuk menyebabkan terjadinya fraktur yang kedua atau ketiga.


4. Tanda dan Gejala
- Gejala yang timbul dapat berupa dislokasi, yaitu berupa perubahan posisi rahang yang menyebabkan maloklusi atau tidak berkontaknya rahang bawah dan rahang atas. Jika penderita mengalami pergerakan abnormal pada rahang dan rasa yang sakit jika menggerakkan rahang. Pembangkakan pada posisi fraktur juga dapat menetukan lokasi fraktur pada penderita. Krepitasi berupa suara pada saat pemeriksaan akibat pergeseran dari ujung tulang yang fraktur bila rahang digerakkan, laserasi yang terjadi pada daerah gusi, mukosa mulut dan daerah sekitar fraktur, discolorisasi perubahan warna pada daerah fraktur akibat pembengkaan, terjadi pula gangguan fungsional berupa penyempitan pembukaan mulut, hipersalifasi dan halitosis, akibat berkurangnya pergerakan normal mandibula dapat terjadi stagnasi makanan dan hilangnya efek “self cleansing” karena gangguan fungsi pengunyahan, kelumpuhan dari bibir bawah, akibat terjadinya fraktur di bawah nervus alveolaris.
- Fraktur mandibula merupakan fraktur kedua tersering pada kerangka wajah.
Tanda dan gejala yang mengarahkan pada diagnosa fraktur mandibula termasuk (Sjamsuhidrajat, 1997; Munir, 2002):
• Pembengkakan, ekimosis ataupun laserasi kulit mandibula
• Nyeri atau anestesi oleh karena kerusakan nervus alveolaris inferior
• Nyeri saat mengunyah
• Maloklusi geligi
• Gangguan mobilitas atau adanya krepitasi
• Malfungsi berupa trismus, nyeri saat mengunyah
• Gangguan jalan nafas
• Deformitas tulang
• Asimetris
• palpasi teraba garis fraktur
• mati rasa bibir bawah akibat kerusakan pada n. mandibularis
Umumnya pasien dapat menyatakan dengan tepat apakah rangkaian gigi atas dan bawah dapat mengatup dengan pas atau tidak. Pemeriksaan intraoral dapat memperlihatkan laserasi di atas mendibula atau mungkin deformitas mandibula yang jelas terlihat atau dapat diraba. Bagian mandibula yang paling sering fraktur adalah kondilus dan angulus mandibula. (Wilson,1997; Munir, 2002)

Gambar 14 Fraktur mandibula (health-allrefer, 2009)
• Nyeri hebat di tempat fraktur
• Tak mampu menggerakkan dagu bawah
• Diikuti tanda gejala fraktur secara umum, seperti : fungsi berubah, bengkak, kripitasi, sepsis pada fraktur terbuka, deformitas.
TRAUMA
Trauma, yaitu benturan pada tulang. Biasanya penderita terjatuh dengan posisi dagu langsung terbentur dengan benda keras (jalanan).

Tanda-tanda patah pada tulang rahang meliputi :
1. Dislokasi, berupa perubahan posisi rahang yg menyebabkan maloklusi atau tidak berkontaknya rahang bawah dan rahang atas
2. Pergerakan rahang yang abnormal, dapat terlihat bila penderita menggerakkan rahangnya atau pada saat dilakukan .
3. Rasa Sakit pada saat rahang digerakkan
4. Pembengkakan pada sisi fraktur sehingga dapat menentukan lokasi daerah fraktur.
5. Krepitasi berupa suara pada saat pemeriksaan akibat pergeseran dari ujung tulang yang fraktur bila rahang digerakkan.
6. Laserasi yg terjadi pada daerah gusi, mukosa mulut dan daerah sekitar fraktur.
7. Discolorisasi perubahan warna pada daerah fraktur akibat pembengkakan
8. Disability, terjadi gangguan fungsional berupa penyempitan pembukaan mulut.
9. Hipersalivasi dan Halitosis, akibat berkurangnya pergerakan normal mandibula dapat terjadi stagnasi makanan dan hilangnya efek “self cleansing” karena gangguan fungsi pengunyahan.
10. Numbness, kelumpuhan dari bibir bawah, biasanya bila fraktur terjadi di bawah nervus alveolaris.

5. Klasifikasi (emedicine,2011)
- Menurut R. Dingman dan P.Natvig pada tahun 1969 fraktur pada mandibula dibagi menjadi beberapa kategori, yakni :
a. Menurut arah fraktur (horizontal/vertikal) dan apakah lebih menguntungkan dalam perawatan atau tidak
b. Menurut derajat keparahan fraktur (simpel/tertutup/mengarah ke rongga mulut atau kulit).
c. Menurut tipe fraktur (Greenstick/kompleks/kominutiva/impaksi/depresi)









Gambar 15. Tipe fraktur mandibula (emedicine,2011)
d. Menurut ada atau tidaknya gigi dalam rahang (dentulous, partially dentulous, edentulous)

e. Menurut lokasi (regio simfisis, regio kaninus, regio korpus, angulus, ramus, prosesus kondilus, prosesus koronoid)










Gambar 16. Lokasi fraktur mandibula (emedicine,2011)

KLASIFIKASI FRAKTUR SECARA UMUM
Banyak klasifikasi fraktur yang ditulis dalam berbagai buku, namun secara praktis dapat dikelompokkan menjadi (Armis, dr) :
1. Menurut Penyebab Terjadinya Fraktur
1. Fraktur traumatik
• Trauma langsung (direk)
Trauma itersebut langsung mengenai anggota tubuh penderita. Contohnya seperti pada antebrakhii yang menahan serangan pukulan dari lawan yang mengakibatkan terjadinya fraktur pada ulna atau kedua tulang tersebut (radius dan ulna).
• Trauma tidak langsung (indirek)
Terjadi seperti pada penderita yang jatuh dengan tangan menumpu dan lengan atas-bawah lurus, berakibat fraktur kaput radii atau klavikula. Gaya tersebut dihantarkan melalui tulang-tulang anggota gerak atas dapat berupa gaya berputar, pembengkokan (bending) atau kombinasi pembengkokan dengan kompresi yang berakibat fraktur butterfly, maupun kombinasi gaya berputar, pembengkokan dan kompresi seperti fraktur oblik dengan garis fraktur pendek. Fraktur juga dapat terjadi akibat tarikan otot seperti fraktur patela karena kontraksi quadrisep yang mendadak.
2. Fraktur fatik atau stress
Trauma yang berulang dan kronis pada tulang yang mengakibatkan tulang menjadi lemah. Contohnya pada fraktur fibula pada olahragawan.
3. Fraktur patologis
Pada tulang telah terjadi proses patologis yang mengakibatkan tulang tersebut rapuh dan lemah. Biasanya fraktur terjadi spontan. Penyebab fraktur patologi adalah :
1. Umum (general)
Tumor dissemineted (myelomatosis), osteoporosis penyakit metabolis seperti : ricket dan ostoemalasia, adrenal hiperkortikolisme atau terapi kortikosteroid yang lama, hiperparatiroidisme, penyakit paget dan kondisi neuropati seperti sipilis dan siringomelia, osteogenesis imperfekta.
2. Lokal
Tumor sekunder seperti : tumor mammae, prostat, tiroid, ginjal dan paru-paru. Tumor ganas primer pada tulang, tumor jinak pada tulang, hiperemi dan infektif dekalsifikasi seperti osteitis misalnya :
2. Menurut Hubungan dengan Jaringan Ikat Sekitarnya
1. Fraktur simpel
Disebut juga fraktur tertutup, oleh karena kulit di sekeliling fraktur sehat dan tidak sobek.
2. Fraktur terbuka
Kulit di sekitar fraktur sobek sehingga fragmen tulang berhubungan dengan dunia luar (bone expose) dan berpotensi untuk menjadi infeksi. Fraktur terbuka dapat berhubungan dengan ruangan di tubuh yang tidak steril seperti rongga mulut.
3. Fraktur komplikasi
Fraktur tersebut berhubungan dengan kerusakan jaringan atau struktur lain seperti saraf, pembuluh darah, organ visera atau sendi.
3. Menurut Bentuk Fraktur
1. Fraktur komplit
Garis fraktur membagi tulang menjadi dua fragmen atau lebih. Garis fraktur bisa transversal, oblik atau spiral. Kelainan ini dapat menggambarkan arah trauma dan menentukan fraktur stabil atau unstabile.
2. Fraktur inkomplit
Kedua fragmen fraktur terlihat saling impaksi atau masih saling tertancap.

3. Fraktur komunitif
Fraktu yang menimbulkan lebih dari dua fragmen.
4. Fraktur kompresi
Fraktur ini umumnya terjadi di daerah tulang kanselus.
Tersebut diatas merupakan klasifikasi fraktur secara umum. Sedangkan klasifikasi fraktur mandibula diantaranya adalah:
KLASIFIKASI FRAKTUR MANDIBULA
1. Menunjukkan regio-regio pada mandibulaA
Gambar regio pada tulang mandibula
2. Menunjukkan frekuensi fraktur di masing-msing regio tersebut
Gambar frekuensi fraktur pada masing-masing regio mandibula
Frekuensi terjadinya fraktur pada mandibula adalah : 2% pada regio koronoid, 36% pada regio kondilus, 3% pada regio ramus, 20% pada regio angulus, 21% pada regio korpus,12% pada regio simfisis, 3% pada regio alveolus.
3. Berdasarkan ada tidaknya gigi
Klasifikasi berdasarkan gigi pasien penting diketahui karena akan menentukan jenis terapi yang akan kita ambil. Dengan adanya gigi, penyatuan fraktur dapat dilakukan dengan jalan pengikatan gigi dengan menggunakan kawat. Penjelasan gambar tentang klasifikasi fraktur di atas :
1. Fraktur kelas 1 : gigi terdapat di 2 sisi fraktur, penanganan pada fraktur kelas 1 ini dapat melalui interdental wiring (memasang kawat pada gigi)
2. Fraktur kelas 2 : gigi hanya terdapat di salah satu fraktur
3. Fraktur kelas 3 : tidak terdapat gigi di kedua sisi fraktur, pada keadaan ini dilakukn melalui open reduction, kemudian dipasangkan plate and screw, atau bisa juga dengan cara intermaxillary fixation.
4. Berdasarkan tipe fraktur mandibula:
a. Simple
b. Greenstick
c. Comminuted
d. Class I
e. Class II
f. Class III
Dengan melihat cara perawatan, maka pola fraktur mandibula dapat digolongkan menjadi :
1. Fraktur Unilateral
Fraktur ini biasanya hanya tunggal, tetapi kadang terjadi lebih dari satu fraktur yang dapat dijumpai pada satu sisi mandibula dan bila hal ini terjadi, sering didapatkan pemindahan frakmen secara nyata. Suatu fraktur korpus mandibula unilateral sering terjadi
2. Fraktur Bilateral
Fraktur bilateral sering terjadi dari suatu kombinasi antara kecelakaan langsung dan tidak langsung. Fraktur ini umumnya akibat mekanisme yang menyangkut angulus dan bagian leher kondilar yang berlawanan atau daerah gigi kanius dan angulus yang berlawanan.
3. Fraktur Multipel
Gabungan yang sempurna dari kecelakaan langsungdan tidak langsung dapat menimbulkan terjadinya fraktur multipel. Pada umumnya fraktur ini terjadi karena trauma tepat mengenai titik tengah dagu yang mengakibatkan fraktur pada simpisis dan kedua kondilus.
4. Fraktur Berkeping-keping (Comminuted)
Fraktur ini hampir selalu diakibatkan oleh kecelakaan langsung yang cukup keras pada daerah fraktur, seperti pada kasus kecelakaan terkena peluru saat perang. Dalam sehari-hari, fraktur ini sering terjadi pada simfisis dan parasimfisis. Fraktur yang disebabkan oleh kontraksi muskulus yang berlebihan. Kadang fraktur pada prosesus koronoid terjadi karena adanya kontraksi refleks yang datang sekonyong-konyong mungkin juga menjadi penyebab terjadinya fraktur pada leherkondilar.
Oikarinen dan Malstrom (1969), dalam serangkaian 600 fraktur mandibula menemukan 49,1% fraktur tunggal, 39,9% mempunyai dua fraktur, 9,4% mempunyai tiga fraktur, 1,2% mempunyai empat fraktur, dan 0,4% mempunyai lebih dari empat fraktur.
Klasifikasi
1. Berdasarkan Tipe
a. Single fraktur
Pada kasus single fraktur, tulang hanya mengalami fraktur pada satu daerah. Fraktur semacam ini bersifat unilateral. Pada mandibula, kasus ini paling sering terjadi dibeberapa lokasi berikut : (6)
- Angulus, khususnya jika ada gigi molar ke-3 yang tidak bererupsi.
- Foramen mentale, dan
- Leher kondilus.
b. Multiple fraktur
Pada multiple farktur, tulang mengalami fraktur pada dua daerah atau lebih. Multiple fraktur biasanya bilateral. Tipe fraktur inilah yang paling sering terjadi pada mandibula. Multiple fraktur dapat pula bersifat unilateral, dimana tulang yang mengalami fraktur terbagi menjadi beberapa bagian pada salah satu sisi.(6)
c. Simple fraktur
Simple fraktur adalah fraktur ang tidak berhubungan dengan lingkungan luar intraoral maupun ekstraoral. Fraktur semacam ini dapat terjadi dimana saja pada ramus mandibula, mulai dari kondilus hingga angulus.(6)
d. Compound fraktur
Compound fraktur merupakan fraktur yang memiliki hubungan dengan lingkungan luar karena disertai dengan pembentukan luka terbuka. Fraktur ini paling sering terjadi disebelah anterior angulus.(6)
e. Comminuted fraktur
Comminuted fraktur paling sering terjadi didaerah simfisis mandibula. Pada kasus fraktur ini tulang terbagi menjadi beberapa bagian atau hancur.(6)
f. Complicated fraktur
Fraktur yang sekaligus terjadi pada maxilla dan mandibula, juga fraktur yang terjadi pada keadaan dimana maxilla atau mandibula mengalami edentulisem, digolongkan dalam complicated fraktur.(6)
2. Berdasarkan Lokasi
a. Fraktur dento-alveolar
Fraktur dento-alveolar terdiri dari afusi, subluksasi atau fraktur gigi dengan maupun tanpa disertai fraktur alveolar. Fraktur ini dapat saja ditemukan sebagai satu-satunya fraktur yang terjadi pada mandibula, dapat pula berkombinasi atau berhubungan dengan fraktur dibagian lain pada mandibula.(6)
b. Fraktur Kondilus
Fraktur condilus dapat terjadi secara intracapsul, tetapi lebih sering terjadi secara ekstracapsul, dengan atau tanpa dislokasi kepala kondilus. Fraktur pada daerah ini biasanya gagal terdeteksi melalui pemeriksaan sederhana.(6)
c. Fraktur processus koronoid
Fraktur processus koronoid jarang terjadi, dan biasanya ditemukan saaat dilakukannya operasi kista besar. Fraktur ini sulit terdiagnosis secara pasti pada pemeriksaan klinis.(6)
d. Fraktur ramus
Otot pterygiomasseter menghasilkan efek splinting yang kuat sehingga fraktur pada daerah ramus jarang terjadi.(6)
e. Fraktur angulus
Daerah ini umumnya mengalami karena tulang pada daerah ini lebih tipis jika dibandingkan dengan tulang pada daerah korpus. Relative tingginya insiden impaksi molar ke tiga menyebabkan daerah ini menjadi lemah. (6)
f. Fraktur korpus
Keberadaan gigi kaninus pada kasus fraktur korpus menyebabkan daerah ini menjadi lemah. Tidak bererupsinya gigi molar ke tiga juga berhubungan dengan kejadian fraktur ini.(6)
g. Fraktur simfisis dan parasimfisis
Fraktur pada daerah simfisis dan parasimfisis jarang terjadi. Ketebalan mandibula pada daerah ini menjamin bahwa fraktur pada daerah simfisis dan para simfisis hanyalah berupa keretakan halus. Keadaan ini akan menghilang jika posisi tulang tetap stabil dan oklusi tidakterganggu.(6)

6. Frekuensi (emedicine,2011)
Secara umum, paling sering terjadi pada korpus mandibula, angulus dan kondilus, sedangkan pada ramus dan prosesus koronoideus lebih jarang terjadi. Berdasarkan penelitian, dapat diurutkan seperti berikut
a. Korpus 29 %
b. Kondilus 26%
c. Angulus 25%
d. Simfisis 17%
e. Ramus 4%
f. Proc.Koronoid 1%

7. Patofisiologi (emedicine,2011)
Derajat keparahan fraktur sangat bergantung pada kekuatan trauma. Karena itu fraktur kominutiva dapat dipastikan terjadi karena adanya kekuatan energi yang besar yang menyebabkan trauma. Berdasarkan penelitian pada 3002 pasien dengan fraktur mandibula, diketahui bahwa adanya gigi molar 3 bawah meningkatkan resiko terjadinya fraktur angulus mandibula sampai 2 kali lipat.

8. Manifestasi Klinis (emedicine,2011)
Pasien dengan fraktur mandibula umumnya datang dengan adanya deformitas pada muka, baik berupa hidung yang masuk kedalam, mata masuk kedalam dan sebagainya. Kondisi ini biasa disertai dengan adanya kelainan dari fungsi organ – organ yang terdapat di muka seperti mata terus berair, penglihatan ganda, kebutaan, anosmia, kesulitan bicara karena adanya fraktur mandibula, maloklusi sampai kesulitan bernapas karena hilangnya kekuatan untuk menahan lidah pada tempatnya sehingga lidah menutupi rongga faring.

9. Diagnosis (emedicine,2011)

10. Diagnosis

Diagnosis fraktur mandibula dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dari riwayat kejadian, pemeriksaan klinis, dan pemeriksaan radiologis.(14)

I. Anamnesis
Pada anamnesis keluhan subyektif berkaitan dengan fraktur mandibula dicurigai dari adanya nyeri, pembengkakan oklusi abnormal, mati rasa pada distribusi saraf mentalis, pembengkakan, memar, perdarahan dari soket gigi, gigi yang fraktur atau tunggal, trismus, ketidakmampuan mengunyah.(8) Selain itu keluhan biasanya disertai riwayat trauma seperti kecelakaan lalu lintas, kekerasan, terjatuh, kecelakaan olah raga ataupun riwayat penyakit patologis.(12)
II. Pemeriksaan Klinis
a. Pemeriksaan klinis pasien secara umum
Umumnya trauma maksilofasial dapat diketahui keberadaannya pada pemeriksaan awal (primary survey) atau pemeriksaan sekunder (secondary survey). (2) Pemeriksaan saluran napas merupakan suatu hal penting karena trauma dapat saja menyebabkan gangguan jalan napas. Penyumbatan dapat disebabkan oleh terjatuhnya lidah kearah belakang, dapat pula oleh tertutupnya saluran napas akibat adanya lendir, darah, muntahan, dan benda asing.(11)
b. Pemeriksaan local fraktur mandibula
1. Pemeriksaan klinis ekstraoral
Tampak diatas tempat terjadinya fraktur biasanya terjadi ekimosis dan pembengkakan. Seringpula terjadi laserasi jaringan lunak dan bisa terlihat jelas deformasi dari kontur mandibula yang bertulang. Jika terjadi perpindahan tempat dari fragmen-fragmen itu pasien tidak bisa menutup geligi anterior, dan mulut menggantung kendur dan terbuka. Pasien sering kelihatan menyangga rahang bawah dengan tangan. Dapat pula air ludah bercampur darah menetes dari sudut mulut pasien.(11)
Palpasi lembut dengan ujung-ujung jari dilakukan terhadap daerah kondilus pada kedua sisi, kemudian diteruskan kesepanjang perbatasan bawah mandibula. Bagian-bagian melunak harus ditemukan pada daerah-daerah fraktur, demikian pula terjadinya perubahan kontur dan krepitasi tulang. Jika fraktur mengenai saraf mandibula maka bibir bawah akan mengalami mati rasa.(11)
2. Pemeriksaan klinis intraoral
Setiap serpihan gigi yang patah harus dikeluarkan. Dari dalam mulut. Sulkus bukal diperiksa adanya ekimosis dan kemudian sulkus lingual. Hematoma didalam sulkus lingual akibat trauma rahang bawah hampir selalu patognomonik fraktur mandibula.(11)
Dengan hati-hati dilakukan palpasi pada daerah dicurigai farktur ibu jari serta telunjuk ditempatkan di kedua sisi dan ditekan untuk menunjukkan mobilitas yang tidak wajar pada daerah fraktur.(11)
3. Pemeriksaan Radiologis
Evaluasi radiografis dibutuhkan untuk mempertegas bukti dan memberikan data yang lebih akurat.(5) Adapun pemeriksaan radiologist yang dapat dilakukan yaitu 14)
a. Foto panoramic dapat memperlihatkan keseluruhan mandibula dalam satu foto. Pemerikasaan ini memerlukan kerjasama pasien, dan sulit dilakukan pada pasien trauma, selain itu kurang memperlihatkan TMJ, pergeseran kondilus medial dan fraktur prosessus alveolar.
b. Pemeriksaan radiografik defenitif terdiri dari fotopolos mandibula, PA, oblik lateral.
c. CT Scan baik untuk fraktur kondilar yang sulit dilihat dengan panorex.

- Diagnosis pasien dengan fraktur mandibula dapat dilakukan dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada pemeriksaan fisik dapat dilakukan dengan pertama – tama melakukan inspeksi menyeluruh untuk melihat adanya deformitas pada muka, memar dan pembengkakan. Langkah berikut yang dilakukan adalah dengan mencoba merasakan tulang rahang dengan palpasi pada pasien. Setelah itu lakukan pemeriksaan gerakan mandibula. Setelah itu dilanjutkan dengan memeriksa bagian dalam mulut. Pasien dapat diminta untuk menggigit untuk melihat apakah ada maloklusi atau tidak. Setelah itu dapat dilakukan pemeriksaan satbilitas tulang mandibula dengan meletakkan spatel lidah diantara gigi dan lihat apakah pasien dapat menahan spatel lidah tersebut. Untuk pemeriksaan penunjang, yang paling penting untuk dilakukan adalah adalah rontgen panoramik, sebab dengan foto panoramik kita dapat melihat keseluruhan tulang mandibula dalam satu foto. Namun pemeriksaan ini memberikan gambaran yang kurang detil untuk melihat temporo-mandibular joint, regio simfisis dan alevolar.
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah dengan foto rontgen polos. Dapat dilakukan untuk melihat posisi oblik-lateral, oklusal, posteoanterior dan periapikal. Foto oblik-lateral dapat membantu mendiagnosa fraktur ramus, angulus dan korpus posterior. Namun regio kondilus, bikuspid dan simfisis seringkali tidak jelas. Foto oklusal mandibula dapat memperlihatkan adanya diskrepansi pada sisi medial dan lateral fraktur korpus mandibula. Posisi posteroanterior Caldwell dapat memperlihatkan adanya dislokasi medial atau lateral dari fraktur ramus, angulus, korpus maupun simfisis. Pemeriksaan CT-scan juga dapat digunakan untuk membantu diagnosa fraktur mandibula.CT-scan dapat membantu untuk melihat adanya fraktur lain pada daerah wajah termasuk os.frontal, kompleks naso-ethmoid-orbital, orbital dan seluruh pilar penopang kraniofasial baik horizontal maupun vertikal. CT-scan juga ideal untuk melihat adanya fraktur kondilus.

Diagnosis
1. Riwayat
Setiap fraktur mempunyai riwayat trauma. Posisi waktu kejadian merupakan informasi yang penting sehingga dapat menggambarkan tipe fraktur yang terjadi. Bila trauma ragu-ragu atau tidak ada maka kemungkian fraktur patologis tetap perlu dipilkirkan. Riwayat penderita harus dilengkapi apakah ada trauma daerah lain (kepala, torak, abdomen, pelvis dll). Pertanyaan-pertanyaan kepada penderita maupun pada orang yang lebih mengetahui harus jelas dan terarah, sehingga diperoleh informasi menganai : keadaan kardiovaskuler maupun sistem respirasi, apakah penderita merupakan penderita diabetes, atau penderita dengan terapi steroid yang lama maupun meminum obat-obat lain, alergi terhadap obat, makan atau minum terakhir dengan penggunaan obat-obat anestesi.
2. Pemeriksaan fisik
• Inspeksi : deformitas angulasi medial, lateral, posterior atau anterior, diskrepensi, rotasi, perpendekan atau perpanjangan, apakah ada bengkak atau kebiruan, pada luka yang mengarah ke fraktur terbuka harus diidentifikasi dan ditentukan menurut derajatnya menurut klasifikasi Gustillo et. al., 1990
• Palpasi : Nyeri tekan pada daerah faktur, nyeri bila digerakkan. Krepitasi : biasanya penderita sangat nyeri oleh sebab itu pemeriksaan ini harus gentle dan bila perlu dapat ditiadakan.
• Gerakan : gerakan luar biasa pada daerah fraktur. Gerakan sendi di sekitarnya terbatas karena nyeri, akibatnya fungsi terganggu
• Pemeriksaan trauma di tempat lain seperti kepala, torak, abdomen, traktus, urinarius dan pelvis
• Pemeriksaan komplikasi fraktur seperti neurovaskuler bagian distal fraktur yang berupa : pulsus arteri, warna kulit, temperatur kulit, pengembalian darah ke kapiler
3. Pemeriksaan Penunjang dengan sinar –X
Foto Waters
Pemeriksaan sinar-X A-P, lateral. Bila perlu dilakukan foto waters. Untuk pencitraan wajah digunakan proyeksi Waters sehingga bayangan bagian wajah tidak terganggu atau disamarkan oleh struktur tulang dasar tengkorak olah struktur tulang dasar tengkorak dan tulang servikal. Identitas penderita dan tanggal pemeriksaan dengan sinar penting dikerjakan sesudah tindakan atau pada tindak lanjut (folow up) penderita guna menentukan apakah sudah terlihat kalus, posisi fragmen dan sebagainya.
Jadi pemeriksaan dapat berfungsi memperkuat diagnosis, menilai hasil dan tindak lanjut penderita.
Gambar diatas menunjukkan cara pemeriksaan untun penegaan diagnosis fraktur mandibula dan menyingkirkan diagnosis bandingnya (fraktur maxilla dan fraktur zygoma).
- Diagnosis fraktur mandibula dapat ditunjukkan dengan adanya : rasa sakit, pembengkaan, nyeri tekan, dan maloklusi. Patahnya gigi, adanya gap, tidak ratanya gigi, tidak simetrisnya arcus dentalis, adanya laserasi intra oral, gigi yang longgar dan krepitasi menunujukkan kemungkinan adanya fraktur mandibula. Selain hal itu mungkin juga terjadi trismus (nyeri waktu rahang digerakkan). Evaluasi radiografis pada mandibula mencakup foto polos, scan dan pemeriksaan panoreks. Tapi pemeriksaan yang baik, yang dapat menunjukkan lokasi serta luas fraktur adalah dengan CT Scan. Pemeriksaan panoreks juga dapat dilakukan, hanya saja diperlukan kerja sama antara pasien dan fasilitas kedokteran gigi yang memadai.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
• X.Ray
• Bone scans, Tomogram, atau MRI Scans
• Arteriogram : dilakukan bila ada kerusakan vaskuler.
• CCT kalau banyak kerusakan otot

Penatalaksanaan (emedicine,2011)
Prinsip penanganan fraktur rahang pada langkah awal penanganan pada hal yang bersifat kedaruratan seperti jalan nafas (airway), pernafasan (breathing), sirkulasi darah termasuk penanganan syok (circulaation), penaganana luka jaringan lunak dan imobilisasi sementara serta evaluasi terhadap kemungkinan cedera otak. Tahap kedua adalah penanganan fraktur secara definitif yaitu reduksi/reposisi fragmen fraktur fiksasi fragmen fraktur dan imobilisasi, sehingga fragmen tulang yang telah dikembalikan tidak bergerak sampai fase penyambungan dan penyembuhan tulang selesai.
Secara khusus penanganan fraktur tulang rahang dan tulang pada wajah (maksilofasial) mulai diperkenalkan olah hipocrates (460-375 SM) dengan menggunakan panduan oklusi (hubungan yang ideal antara gigi bawah dan gigi-gigi rahang atas), sebagai dasar pemikiran dan diagnosis fraktur rahang. Pada perkembangan selanjutnya oleh para klinisi berat menggunakan oklusi sebagai konsep dasar penanganan fraktur rahang dan tulang wajah (maksilofasial) terutama dalam diagnostik dan penatalaksanaannya. Hal ini diikuti dengan perkembangan teknik fiksasi mulai dari penggunaan pengikat kepala (head bandages), pengikat rahang atas dan bawah dengan kawat (intermaxilari fixation), serta fiksasi dan imobilisasi fragmen fraktur dengan menggunakan plat tulang (plate and screw).

Gambar imobilisasi fraktur mandibula secara interdental :
1. Menggunakan kawat
Menggunakan kawat : kawat dibuat seperti mata (gb 1+2), kemudian mata tadi dipasang disekitar dua buah gigi atau geraham dirahang atas ataupun bawah (gb3+4). Rahang bawah yang patah difiksasi pada rahang atas melalui mata di kawat atas dan bawah (gb 5), hasil akhirnya adalah (gb 6). Jika perlu ikatan kawat ini dipasang di berbagai tempat untuk memperoleh fiksasi yang kuat.


2. Imobilisasi fraktur mandibula dengan batang lengkung karet
Menggunakan batang lengkung dan karet : batang lengkung (gb 1+2), batang dipasang pada gigi maxilla dan juga pada semua gigi mandibula yang patah (gb 3). Mandibula ditambatkan seluruhnya pada maxilla dengan karet pada kait di batang lengkungan atas dan bawah (gb 4).
Gambar fiksasi dan imobilisasi fragmen fraktur dengan menggunakan plat (plate and screw) tulang (open reduction)
Gambar diatas adalah penanganan dari fraktur mandibula dengan pemasangan plat pada batas inferior garis fraktur, pemasangan plat ini bertujuan untuk memberi tahanan pada daerah fraktur, sehingga dapat menyatukan bagian fraktur dengan alveolus superior. Setelah plat tepasang, maka tidak dibutuhkan lagi fiksasi maksila. Dengan catatan pemasangan screw pada plat tidak dengan penekanan yang terlalu kuat. Karena dengan pemasangan screw yang terlalu kuat akan mengkibatkan terjadinya kesulitan pada saat pelepasan, oleh karena itu, pemasangan dengan tekhnik yang tidak terlalu menekan lebih di pilih dalam pemasangan plat pada fraktur mandibula.
Gambar diatas adalah penanganan fraktur mandibula jika terjadi pada darerah sudut mandibula, gigi geraham ke tiga dihilangkan sebagai jalan dari penanganan open reduction ini. Plat untuk fiksasi yang berukuran lebih kecil dipasang pertama kali dengan menggunakan monocortical screw. Plat yang lebih panjang diletakkan di bawah plat pertama dengan tekhnik yang tidak terlalu menekan. Setelah pemasangan kedua plat, fiksasi dapat dikatakan sudah stabil, tanpa harus melakukan fiksasi intermaksila.
Prosedur penanganan fraktur mandibula :
1. Fraktur yang tidak ter-displace dapat ditangani dengan jalan reduksi tertutup dan fiksasi intermaxilla. Namun pada prakteknya, reduksi terbuka lebih disukai paada kebanyakan fraktur.
2. Fraktur dikembalikan ke posisi yang sebenarnya dengan jalan reduksi tertutup dan arch bar dipasang ke mandibula dan maxilla.
3. Kawat dapat dipasang pada gigi di kedua sisi fraktur untuk menyatukan fraktur
4. Fraktur yang hanya ditangani dengan jalan reduksi tertutup dipertahankan selama 4-6 minggu dalam posisi fraktur intermaxilla.
5. Kepada pasien dapat tidak dilakukan fiksasi intermaxilla apabila dilakukan reduksi terbuka, kemudian dipasangkan plat and screw.
Oleh sebab itu ilmu oklusi merupakan dasar yang penting bagi seorang Spesialis Bedah Mulut dan Maksilofasial dalam penatalaksanan kasus patah rahang atau fraktur maksilofasial. Dengan prinsip ini diharapkan penyembuhan atau penyambungan fragmen fraktur dapat kembali ke hubungan awal yang normal dan telah beradaptasi dengan jaringan lunak termasuk otot dan pembuluh saraf disekitar rahang dan wajah.
Patah rahang dan tulang wajah yang tidak ditangani dengan baik akan memberikan gangguan dan keluhan pada pasien dalam jangka pendek dan jangka panjang. Komplikasi yang dapat terjadi pada kasus patah rahang yang adalah infeksi pada jaringan lunak dan tulang rahang. Infeksi tersebut dapat menyebabkan kehilangan jaringan lunak dan keras yang banyak. Komplikasi lain, jika penyambungan tidak adekuat (malunion)dan oklusi rahang atas dan bawah tidak tercapai maka akan memberi keluhan berupa rasa sakit dan tidak nyaman (discomfort) yang berkepanjangan pada sendi rahang (Temporomandibular joint) oleh karena perubahan posisi dan ketidakstabilan antara sendi rahang kiri dan kanan.
Hal ini tidak hanya berdampak pada sendi tetapi otot-otot pengunyahan dan otot sekitar wajah juga dapat memberikan respon nyeri (myofascial pain) Terlebih jika pasien mengkompensasikan atau memaksakan mengunyah dalam hubungan oklusi yang tidak normal. Kondisi inilah yang banyak dikeluhkan oleh pasien patah rahang yang tidak dilakukan perbaikan atau penangnanan secara adekuat. Komplikasi setelah pembedahan yang dapat terjadi pada semua operasi penyambungan tulang adalah terlambatnya penyambungan dan penyembuhan tulang (delayed union) atau kegagalan penyambungan tulang (nonunion)yang sering disebabkan tidak stabilnya fragmen fraktur karena immobilisasi yang kurang baik. Komplikasi yang secara klinis dan estetik nampak adalah perubahan bentuk dan proporsi wajah.
- Penatalaksanaan pada fraktur mandibula mengikuti standar penatalaksanaan fraktur pada umumnya. Pertama periksalah A(airway), B(Breathing) dan C(circulation). Bila pada ketiga topik ini tidak ditemukan kelainan pada pasien, lakukan penanganan terhadap fraktur mandibula pasien. Bila pada pasien terdapat perdarahan aktif, hentikanlah dulu perdarahannya. Bila pasien mengeluh nyeri maka dapat diberi analgetik untuk membantu menghilangkan nyeri. Setelah itu cobalah ketahui mekanisme cedera dan jenis fraktur pada pasien berdasarkan klasifikasi oleh Dingman dan Natvig.
Bila fraktur pada pasien adalah fraktur tertutup dan tidak disertai adanya dislokasi atau ada dislokasi kondilus yang minimal, maka dapat ditangani dengan pemberian analgetik, diet cair dan pengawasan ketat. Pasien dengan fraktur prosesus koronoid dapat ditangani dengan cara yang sama. Pada pasien ini juga perlu diberikan latihan mandibula untuk mencegah terjadinya trismus.
Kunci utama untuk penanganan fraktur mandibula adalah reduksi dan stabilisasi. Pada pasien dengan fraktur stabil cukup dengan melakukan wiring untuk menyatukan gigi atas dan bawah. Untuk metode ini dapat dilakukan berbagai tindakan. Yang paling banyak dilakukan adalah dengan menggunakan wire dengan Ivy loops dan dilakukan MMF (maxillomandibular fixation)

Komplikasi (emedicine,2011)
- Komplikasi setelah dilakukannya perbaikan pada fraktur mandibula umumnya jarang terjadi. Komplikasi yang paling umum terjadi pada fraktur mandibula adalah infeksi atau osteomyelitis, yang nantinya dapat menyebabkan berbagai kemungkinan komplikasi lainnya.
Tulang mandibula merupakan daerah yang paling sering mengalami gangguan penyembuhan fraktur baik itu malunion ataupun non-union. Ada beberapa faktor risiko yang secara spesifik berhubungan dengan fraktur mandibula dan berpotensi untuk menimbulkan terjadinya malunion ataupun non-union. Faktor risiko yang paling besar adalah infeksi, kemudian aposisi yang kurang baik, kurangnya imobilisasi segmen fraktur, adanya benda asing, tarikan otot yang tidak menguntungkan pada segmen fraktur. Malunion yang berat pada mandibula akan mengakibatkan asimetri wajah dan dapat juga disertai gangguan fungsi. Kelainan-kelainan ini dapat diperbaiki dengan melakukan perencanaan osteotomi secara tepat untuk merekonstruksi bentuk lengkung mandibula.
Faktor – faktor lain yang dapat mempengaruhi kemungkinan terjadinya komplikasi antara lain sepsis oral, adanya gigi pada garis fraktur, penyalahgunaan alkohol dan penyakit kronis, waktu mendapatkan perawatan yang lama, kurang patuhnya pasien dan adanya dislokasi segmen fraktur.
- Adapun komplikasi yang dapat terjadi yaitu :
1. Komplikasi yang timbul selama perawatan
- Infeksi
- Kerusakan saraf
- Gigi yang berpindah tempat
- Komplikasi pada daerah ginggival dan periodontal
- Reaksi terhadap obat
2. Komplikasi lanjut
- Malunion
- Union yang tertunda
- Nonunion