Senin, 23 Mei 2011

“ Pendekatan psikologis dalam tindakan preventive pada anak “

PENDEKATAN PSIKOLOGIS
1. Definisi
- suatu pendekatan pada pasien dengan cara memahami diri atau psikologi pasien,yang berorientasi pd pnelitian psikologis yg terintegrasi pd behaviorism
2. Macam
- Preparatory information
• kecemasan Karena orang tua terkait erat dengan perilaku anak-anak, strategi yang bertujuan untuk mengurangi kecemasan orang tua juga dapat memperbaiki perilaku anak-anak. Membantu orang tua untuk memahami apa yang akan terjadi memungkinkan mereka untuk mempersiapkan anak dan meningkatkan aliansi pengobatan. (4) Informasi Persiapan dikirim sebelum pertemuan pertama yang diproduksi meningkat perilaku dibandingkan dengan anak-anak yang orangtuanya belum menerima informasi (19,20) dan ibu juga melaporkan bahwa informasi itu bermanfaat (20) Sebuah keuntungan yang tidak terduga mungkin juga penurunan janji rusak.. (49)

- Non verbal communication
• aspek non verbal dampak komunikasi pada kualitas emosional hubungan, untuk indikasi contoh persahabatan tampaknya lebih bergantung pada nonverbal dari perilaku verbal (50) Pesan yang disampaikan oleh lingkungan maupun oleh individu.. Poster menggambarkan efek dari penyakit yang bertujuan untuk orang dewasa mungkin menakut-nakuti anak-anak (30) Pentingnya nonverbamessages dikonfirmasi oleh studi observasional anak usia 3-5 tahun menjalani perawatan gigi yang menunjukkan bahwa menepuk lembut seorang anak takut dapat mengurangi kemungkinan tersebut. perilaku terus, sambil menahan dan menahan lebih cenderung meningkatkan perilaku seperti itu.
- Voice control
• McKnight et al (23) menyatakan bahwa 98% dari dokter gigi Amerika digunakan kontrol suara meskipun orang tua mungkin menemukan teknik ini sedikit diterima (24) kepribadian dokter gigi mungkin juga penting karena beberapa individu akan selalu bahagia untuk meningkatkan suara mereka.. (25 ) Meskipun teknik ini telah terbukti efektif (22) telah menyarankan bahwa ekspresi wajah juga dapat menjadi komponen penting (51.)

- Tell-show-do
• Katakan-show-lakukan adalah suatu teknik menggunakan beberapa konsep dari teori belajar pertama kali dilaporkan oleh Addelston (52) Hal ini banyak digunakan dalam kedokteran gigi anak-anak (23,24,41) dan diterima dengan baik oleh orang tua.. (53) Teknik ini bekerja dengan baik dikombinasikan dengan perilaku membentuk tetapi ada sedikit penelitian yang berkaitan dengan penggunaannya. Howitt & Stricker (54) mengevaluasi pendekatan menyimpulkan bahwa itu berguna dengan tingkat kecemasan rendah tetapi tidak menemukan bukti untuk mendukung kegunaannya dengan anak-anak sangat cemas. Baru-baru ini telah ditunjukkan untuk mengurangi kecemasan antisipatif pada pasien anak baru, bagaimanapun, itu kurang bermanfaat pada anak-anak dengan pengalaman gigi sebelumnya. (26)

- Enhancing control
• Kontrol dalam pengertian ini tidak berarti kemungkinan menghindari situasi melainkan kemungkinan mempengaruhi bagaimana hal itu dialami. Wardle (27) mewawancarai dua kelompok pasien setelah perawatan. Kelompok pertama telah diberi thesecond sinyal berhenti tidak. Hanya 15% dari pasien yang menggunakan sinyal berhenti melaporkan adanya rasa sakit selama pengobatan dibandingkan dengan 50% dari kelompok tanpa sinyal.

- Behavior shaping and positive reinforcement
• pembentukan dan penguatan positif Perilaku
Banyak prosedur gigi membutuhkan perilaku cukup kompleks dan tindakan dari pasien kami yang perlu dijelaskan dan dipelajari. Untuk anak-anak ini membutuhkan langkah-langkah yang jelas kecil. Proses ini disebut membentuk perilaku. Ini terdiri dari serangkaian langkah-langkah pasti terhadap perilaku yang ideal (30) Hal ini paling mudah dicapai oleh penguatan selektif.. Penguatan adalah penguatan pola perilaku, meningkatkan kemungkinan bahwa perilaku yang ditampilkan kembali di masa mendatang (31) Segala sesuatu yang anak menemukan menyenangkan atau memuaskan dapat bertindak sebagai penguat positif,. Stiker atau lencana sering digunakan pada akhir sebuah janji yang sukses. Namun, reinforcers yang paling kuat adalah rangsangan sosial, seperti, ekspresi wajah, modulasi suara positif, pujian lisan, persetujuan memeluk. (32) Seorang anak berpusat, respon empatik memberikan pujian yang spesifik, misalnya, "seperti aku cara Anda tetap buka mulut Anda "telah terbukti lebih efektif daripada komentar umum seperti" Gadis baik "(32). Seperti TSD penggunaan bahasa usia tertentu adalah penting. (2)
Teknik ini berguna untuk semua pasien yang bisa berkomunikasi. Tidak ada kontraindikasi.

- Modeling
• Pemodelan
Teknik ini didasarkan pada prinsip psikologis bahwa orang belajar tentang lingkungan mereka dengan mengamati perilaku orang lain, menggunakan model, baik hidup (33,34) atau dengan video (35,36) untuk menunjukkan perilaku yang tepat dalam lingkungan gigi. Hal ini mungkin menunjukkan perilaku yang sesuai melalui pihak ketiga, kecemasan penurunan dengan menunjukkan hasil yang positif untuk sebuah prosedur anak membutuhkan sendiri, dan menggambarkan imbalan untuk melakukan tepat. (37) Untuk efek terbaik model harus usia yang sama sebagai anak target, harus menunjukkan perilaku yang sesuai dan dipuji. Mereka juga harus diperlihatkan memasuki dan meninggalkan operasi. (37)
Teknik ini berguna di mana suatu model yang sesuai tersedia.

- Distraction
• selingan
Pendekatan ini bertujuan untuk mengalihkan perhatian pasien dari pengaturan gigi untuk beberapa situasi lain, atau dari prosedur yang berpotensi tidak menyenangkan untuk beberapa tindakan lain. Kartun telah ditunjukkan untuk mengurangi perilaku mengganggu pada anak-anak bila dikombinasikan dengan penguatan, yaitu ketika anak-anak tahu kartun akan dimatikan jika mereka tidak berperilaku (38) Kemudian studi menunjukkan bahwa pita audio dapat lebih efektif.. (39) distraktor jangka pendek seperti mengalihkan perhatian dengan menarik bibir sebagai obat bius lokal yang diberikan atau memiliki pasien mengangkat kaki mereka untuk menghentikan mereka tersedak selama radiografi mungkin juga berguna. Dokter gigi yang berbicara sambil menerapkan pasta topikal dan melaksanakan anestetik lokal juga menggunakan gangguan dengan kata-kata. (2)
Teknik ini berguna untuk semua pasien yang secara verbal dapat berkomunikasi. Tidak ada kontraindikasi.

- Systematic desensitization (SD )
• desensitisasi sistematis (SD)
Teknik ini membantu individu dengan ketakutan tertentu atau fobia mengatasinya oleh kontak berulang. Sebuah hirarki dari rangsangan ketakutan-memproduksi dibangun, dan pasien terkena kepada mereka secara teratur, dimulai dengan stimulus berpose ancaman terendah. Dalam hal gigi, ketakutan biasanya berhubungan dengan prosedur tertentu seperti penggunaan anestesi lokal. Pertama, pasien diajarkan untuk bersantai, dan di negara ini masing-masing terkena rangsangan dalam hirarki pada gilirannya, hanya maju ke depan ketika mereka merasa mampu. Contoh dari hirarki untuk anestesi lokal ditunjukkan pada Tabel 2. Untuk fobia benar beberapa sesi relaksasi dengan seorang psikolog atau dokter gigi yang telah menerima pelatihan dalam teknik relaksasi atau hipnosis mungkin diperlukan (2) Memang. Satu melaporkan kasus diperlukan sesi jam 9 panjang dengan terapis. (40) Namun demikian, pendekatan serupa bisa digunakan untuk anak-anak yang telah memiliki pengalaman negatif di masa lalu. (41)
Teknik ini berguna untuk seorang anak yang dengan jelas dapat mengidentifikasi ketakutan mereka dan yang secara verbal dapat berkomunikasi.

- Negative reinforcement
• penguatan Negatif
Pengaruh yang kuat dari penguatan positif telah dibahas sudah. penguatan negatif juga telah digunakan dalam praktek gigi. Ini adalah penguatan pola perilaku oleh penghapusan stimulus yang merasakan sebagai individu yang tidak menyenangkan (a penguat negatif) segera setelah perilaku yang dibutuhkan dipamerkan. Stimulus diterapkan ke semua aksi kecuali satu yang diperlukan, sehingga menguatkannya dengan penghilangan stimulus negatif. Seharusnya tidak bingung dengan hukuman, yang merupakan aplikasi dari suatu stimulus yang tidak menyenangkan terhadap perilaku yang tidak pantas.
Terkenal contoh dalam praktek gigi Hand ke mulut (HOM) dan pengucilan selektif orang tua (September).
HOM menahan melibatkan anak di kursi gigi, menempatkan tangan ke mulut (untuk memungkinkan anak untuk mendengar). Hidung tidak harus ditutupi. dokter gigi kemudian berbicara lirih kepada anak menjelaskan bahwa tangan akan dihapus segera setelah berhenti menangis. Segera setelah ini terjadi tangan diangkat dan anak memuji. Jika protes mulai lagi tangan diganti. Teknik ini bertujuan untuk memperoleh perhatian anak dan memungkinkan komunikasi, memperkuat perilaku yang baik dan menetapkan penghindaran yang sia-sia (42) Mereka yang mendukung teknik merekomendasikan hal ini untuk anak usia 4-9 tahun ketika komunikasi hilang atau selama amarah.. (41 , 42) persetujuan orangtua yang penting dan teknik seharusnya tidak pernah digunakan pada anak-anak yang terlalu muda untuk memahami atau dengan gangguan intelektual atau emosional. (43)
Sementara masih digunakan di Amerika Utara (44) teknik ini masih kontroversial (25,45) Tidak ada studi tentang efektivitas HOM.. legalitas Its (berkaitan dengan menahan diri dan hak-hak individu) juga telah dipertanyakan. (25)
pengecualian selektif orang tua (September) kurang kontroversial tetapi menggunakan prinsipal serupa. Indikasi untuk September adalah sama seperti untuk HOM. persetujuan orang tua diperlukan. Ketika perilaku yang tidak pantas adalah dipamerkan orangtua diminta untuk meninggalkan. Idealnya, orangtua harus mampu mendengar, tetapi tidak terlihat anak. Ketika perilaku yang tepat dipamerkan orangtua diminta untuk kembali, sehingga menguatkan perilaku itu.

3. Tujuan
- untuk memahami karakteristik seorang pasien shg dapat dilakukan suatu upaya yg kita kehendaki
- membantu dalam tatalaksana tindakan / perawatan yang akan dilakukan
4. Kendala :
Dokter : tidak komunikatif,
Pasien: tidak kooperatif
5. Fungsi :
Dokter :melatih kesabaran dokter,
Pasien : mendapatkan tindakan
6. Cara/aplikasi
7. Apakah setiap pasien memerlukan pendkatan psiko?ciri?tidak mesti,dengan melihat sikon

PERAWATAN PREVENTIVE ( FISSURE SEALANT )
1. Definisi
o merupakan bahan yang diletakkan pada pit dan fisura gigi yang bertujuan untuk mencegah proses karies gigi (J.H. Nunn et al, 2000).
o
2. Fungsi
menutup pit dan fissure dg tujuan menghambat karies
3. Tujuan
o agar terjadinya penetrasi bahan ke dalam pit dan fisura serta berpolimerisai dan menutup daerah tersebut dari bakteri dan debris (Kenneth J Anusavice, 2004: 260-261). Bahan sealant ideal mempunyai kemampuan retensi yang tahan lama, kelarutan terhadap cairan mulut rendah, biokompatibel dengan jaringan rongga mulut, dsn mudah diaplikasikan (Donna Lesser, 2001)
o agar sealant berpenetrasi dan menutup semua celah, pit dan fisura pada permukaan oklusal baik gigi sulung maupun permanent. Area tersebut diduga menjadi tempat awal terjadinya karies dan sulit dilakukan pembersihan secara mekanis
(Robert G.Craig :1979: 29).

4. Indikasi dan kontra indikasi
Indikasi
o Dalam, pit dan fisura retentive
o Pit dan fisura dengan dekalsifikasi minimal
o Karies pada pit dan fisura atau restorasi pada gigi sulung atau permanen lainnya
o Tidak adanya karies interproximal
o Memungkinkan isolasi adekuat terhadap kontaminasi saliva
o Umur gigi erupsi kurang dari 4 tahun.
Kontraindikasi
o Self cleansing yang baik pada pit dan fisura
o Terdapat tanda klinis maupun radiografis adanya karies interproximal yang memerlukan perawatan
o Banyaknya karies interproximal dan restorasi
o Gigi erupsi hanya sebagian dan tidak memungkinkan isolasi dari kontaminasi saliva
o Umur erupsi gigi lebih dari 4 tahun.
(M. John Hick dalam J.R Pinkham, 1994: 459-61)
Pertimbangan lain dalam pemberian sealant juga sebaiknya diperhatikan. Umur anak berkaitan dengan waktu awal erupsi gigi-gigi tersebut. Umur 3-4 tahun merupakan waktu yang berharga untuk pemberian sealant pada geligi susu; umur 6-7 tahun merupakan saat erupsi gigi permanen molar pertama; umur 11-13 tahun merupakan saatnya molar kedua dan premolar erupsi. Sealant segera dapat diletakkan pada gigi tersebut secepatnya. Sealant juga seharusnya diberikan pada gigi dewasa bila terbukti banyak konsumsi gula berlebih atau karena efek obat dan radiasi yang mengakibatkan xerostomia (Norman O. Harris, 1999: 245-6).

5. Bahan :
A. Resin
• Bahan sealant berbasis resin dapat melakukan polimerisasi secara autopolimerisasi dan fotopolimerisasi
• Sealant berbasis resin bertahan lebih lama dan kuat karena memiliki kemampuan penetrasi yang lebih bagus. Hal ini karena adanya proses etsa pada enamel gigi yang menghasilkan kontak yang lebih baik antara bahan resin dengan permukaan enamel (Mahadevan Ganesh, 2007).
• Etsa menghilangkan mineral enamel gigi dan menghasilkan resin tag dan secara klinis nampak lebih putih dan pudar. Bahan sealant yang diberikan pada area yang dietsa akan berpenetrasi ke dalam resin tag. Hal ini dapat meningkatkan retensi mekanis bahan sealant dengan permukaan enamel gigi (Carline Paarmann, 1991:13).
a. Bahan matriks resin
Bahan matriksnya adalah bisfenol A-glisidil metakrilat (bis-GMA), suatu resin dimetakrilat. Karena bis-GMA memiliki berat molekul yang lebih tinggi dari metal metakrilat, kepadatan gugus metakrilat berikatan ganda adalah lebih rendah dalam monomer bis-GMA, suatu faktor yang mengurangi pengerutan polimerisasi. Penggunaan dimetakrilat juga menyebabkan bertambahnya ikatan silang dan perbaikan sifat polimer (Kenneth J Anusavice, 2004: 230).
Bis-GMA, urethane dimetrakilat (UEDMA), dan trietil glikol dimetakrilat (TEGDMA) adalah dimetakrilat yang umum digunakan dalam komposit gigi. Monomer dengan berat molekul tinggi, khususnya bis-GMA amatlah kental pada temperature ruang. Penggunaan monomer pengental penting untuk memperoleh tingkat pengisi yang tinggi dan menghasilkan konsistensi pasta yang dapat digunakan secara klinis. Pengencer bisa berupa monomer metakrilat dan monomer dimetakrilat (Kenneth J Anusavice, 2004: 230).
Kebanyakan bahan resin saat ini menggunakan molekul bis-GMA, yang merupakan monomer dimetakrilat yang disintesis oleh reaksi antara bisfenol-A dan glisidil metakrilat. Reaksi ini dikatalisasi melalui sistem amine-peroksida (Lloyd Baum, 1997: 254).
b. Partikel bahan pengisi
Dimasukkannya partikel bahan pengisi ke dalam suatu matriks secara nyata meningkatkan sifat bahan matriks bila partikel pengisi benar-benar berikatan dengan matriks. Penyerapan air dan koefisiensi termal dari komposit juga lebih kecil dibandingkan dengan resin tanpa bahan pengisi. Sifat mekanis seperti kekuatan kompresi, kekuatan tarik, dan modulus elastis membaik, begitu juga ketahanan aus. Semua perbaikan ini terjadi dengan peningkatan volume fraksi bahan pengisi (Kenneth J Anusavice, 2004: 230-1).
Bis-GMA saat ini merupakan matriks resin pilihan sebagai bahan sealant. Bisa dengan atau tanpa bahan pengisi. Penambahan bahan pengisi meliputi serpih kaca mikroskopis, partikel quartz dan bahan pengisi lainnya. Bahan ini membuat sealant lebih tahan terhadap abrasi (Norman O. Harris, 1999: 246).
Bahan yang digunakan bahan pengisi makro adalah partikel-partikel halus dari komponen silika, cristalin quartz, atau silikat glass boron. Quartz telah digunakan secara luas sebagai bahan pengisi. Quartz memiliki keunggulan sebagai bahan kimia yang kuat. Sementara sifat radiopak bahan pengisi disebabkan oleh sejumlah kaca dan porselen yang mengandung logam berat seperti barium, strontium dan zirconium. Penambahan bahan pengisi mengurangi pengerutan pada saat polimerisasi dan menambah kekerasan (Lloyd Baum, 1997: 254).
c. Bahan coupling
Bahan pengisi sangatlah penting berikatan dengan matriks resin. Hal ini memungkinkan matriks polimer lebih fleksibel dalam meneruskan tekanan ke partikel yang lebih kaku. Ikatan antara 2 fase komposit diperoleh dengan bahan coupling. Aplikasi bahan coupling yang tepat dapat meningkatan sifat mekanis dan fisik serta memberikan kestabilan hidrolitik dengan mencegah air menembus sepanjang antar bahan pengisi dan resin. γ-metakriloksipropiltrimetoksi silane adalah bahan yang sering digunakan sebagai bahan coupling (Kenneth J Anusavice, 2004: 230-1).
d. Penghambat
Untuk mencegah polimerisasi spontan dari monomer, bahan penghambat ditambahkan pada sistem resin. Penghambat ini mempunyai potensi reaksi kuat dengan radikal bebas. Bila radikal bebas telah terbentuk, bahan penghambat akan bereaksi dengan radikal bebas kemudian menghambat perpanjangan rantai dengan mengakhiri kemampuan radikal bebas untuk mengawali proses polimerisasi. Bahan penghambat yang umum digunakan adalah butylated hydroxytoluene (Kenneth J. Anusavice, 2004: 232).
e. Sifat bahan resin
Secara umum resin memiliki sifat mekanis yang baik, kelarutan bahan resin sangat rendah. Sifat termis bahan resin sebagai isolator termis yang baik. Bahan resin memiliki koefisien termal yang tinggi. Kebanyakan resin bersifat radiopaque (E.C Combe, 1992: 176-7).
Resin memiliki karakteristik warna yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan perawatan. Sifat mekanis yang baik sehingga dapat digunakan pada gigi dengan beban kunyah besar. Terjadinya pengerutan selama proses polimerisasi yang tinggi menyebabkan kelemahan klinis dan sering menyebabkan kegagalan. Kebocoran tepi akibat pengerutan dalam proses polimerisasi dapat menyebabkan karies sekunder. Pemolesan bahan harus bagus karena kekasaran pada permukaan komposit dapat dijadikan tempat menempelnya plak (Kenneth J Anusavice, 2004: 247).
f. Indikasi fisure sealant berbasis resin
Penggunaan sealant berbasis resin digukanan pada hal berikut:
a. Digunakan pada geligi permanen
b. Kekuatan kunyah besar
c. Insidensi karies relatif rendah
d. Gigi sudah erupsi sempurna
e. Area bebas kontaminasi atau mudah dikontrol
f. Pasien kooperatif, karena banyaknya tahapan yang membutuhkan waktu lebih lama.

2.7 Pengerasan Sealant Berbasis Resin
Terdapat dua tipe bis-GMA yaitu yang mengalami polimerisasi setelah pencampuran komponen katalis dan yang mengalami polimerisasi hanya setelah sumber sinar yang sesuai. Sampai sekarang sinar ultraviolet (panjang gelombang 365 nm) telah digunakan, tetapi telah banyak digantikan oleh sinar tampak (biru) dengan panjang gelombang 430-490 nm (R.J Andlaw, 1992: 58).
2.7.1 Pengerasan Sealant Berbasis Resin secara Otomatis
Proses ini kadang disebut dengan cold curing, chemical curing, atau self curing. Bahan yang dipasok dalam 2 pasta, satu mengandung inisiator benzoil peroksida dan lainnya mengandung amin tersier. Bila kedua pasta diaduk, amin bereaksi dengan benzoil peroksida untuk membentuk radikal bebas dan polimerisasi tambahan dimulai (Kenneth J. Anusavice, 2004: 232).
Sealant bis-GMA dipolimerisasi oleh bahan amina organik akselerator yang terdiri atas dua sistem komponen. Komponen pertama berisi bis-GMA tipe monomer dan inisiator benzoil peroksida, dan komponen kedua berisi tipe monomer bis-GMA dengan akselerator 5% amina organik. Monomer bis-GMA dilarutkan dengan monomer metal metakrilat. Sebuah bahan sealant komersil berisi pigmen putih, dimana mengandung 40% bahan partikel quartz dengan diameter rata-rata 2 mikrometer. Kedua komponen tadi bercampur sebelum diaplikasikan ke gigi dan berpolimerisasi ikatan silang sebagai reaksi sederhana (Norman O.Harris, 1979: 30)
Pada bahan ini operator tidak memiliki kemampuan mengendalikan waktu kerja setelah bahan diaduk. Jadi pembentukan kontur restorasi harus diselesaikan begitu tahap inisiasi selesai. Jadi proses polimerisasi terus-menerus terganggu sampai operator telah menyelesaikan proses pembentukan kontur restorasi (Kenneth J. Anusavice, 2004: 235).

2.7.2 Pengerasan Sealant Berbasis Resin dengan Sinar
Radikal bebas pemula reaksi polimerisasi terdiri atas foto-inisiator dan activator amin terdapat dalam satu pasta. Bila tidak terkena sinar, maka kedua komponen tersebut tidak bereaksi. Pemaparan terhadap sinar dengan panjang gelombang yang tepat (468 nm) merangsang fotoinisiator berinteraksi dengan amin untuk membentuk radikal bebas yang mengawali polimerisasi tambahan.
Foto-inisiator yang digunakan adalah camphoroquinone. Sumber sinar modern biasanya berasal dari bohlam tungsten halogen melalui suatu filter sinar ultra merah dan spectrum sinar tampak dengan panjang gelombang 500 nm (Gambar10). Waktu polimerisasi sekitar 20-60 detik. Untuk mengimbangi penurunan intensitas sinar, waktu pemaparan harus diperpanjang 2 atau 3 kali (Kenneth J. Anusavice, 2004: 232-5).
Saat ini telah tersedia bahan fissure sealant berbasis resin dalam syringe yang akan berpolimerisasi setelah diaktivasi dengan sinar (Gambar 9). Sealant bis-GMA berpolimerisasi dengan sinar ultraviolet (340-400 nm) adalah satu sistem tanpa diperlukan adanya pencampuran. Tiga bahan kental monomer bis-GMA dilarutkan dengan 1 bagian monomer metil metakrilat. Dengan aktivator berupa 2% benzoin metil eter (Robert G. Craig, 1979: 30).
2.8 Teknik Aplikasi Fissure Sealant Berbasis Resin
2.8.1 Pembersihan pit dan fisura pada gigi yang akan dilakukan aplikasi fissure sealant menggunakan brush dan pumis (Gambar 1)
Syarat pumis yang digunakan dalam perawatan gigi:
a. Memiliki kemampuan abrasif ringan
b. Tanpa ada pencampur bahan perasa
c. Tidak mengandung minyak
d. Tidak mengandung Fluor
e. Mampu membersihkan dan menghilangkan debris, plak dan stain
f. Memiliki kemampuan poles yang bagus
2.8.2 Pembilasan dengan air
Syarat air:
a. Air bersih
b. Air tidak mengandung mineral
c. Air tidak mengandung bahan kontaminan
2.8.3 Isolasi gigi
Gunakan cotton roll atau gunakan rubber dam
2.8.4 Keringkan permukaan gigi selama 20-30 detik dengan udara.
Syarat udara :
a. Udara harus kering
b. Udara tidak membawa air (tidak lembab)
c. Udara tidak mengandung minyak
d. Udara sebaiknya tersimpan dalam syringe udara dan dihembuskan langsung ke permukaan gigi.
2.8.4 Lakukan pengetsaan pada permukaan gigi
a. Lama etsa tergantung petunjuk pabrik
b. Jika jenis etsa yang digunakan adalah gel, maka etsa bentuk gel tersebut harus dipertahankan pada permukaan gigi yang dietsa hingga waktu etsa telah cukup.
c. Jika jenis etsa yang digunakan adalah berbentuk cair, maka etsa bentuk cair tersebut harus terus-menerus diberikan pada permukaan gigi yang dietsa hingga waktu etsa telah cukup.
2.8.5 Pembilasan dengan air selama 60 detik
Syarat air sama dengan point 2.
2.8.6 Pengeringan dengan udara setelah pengetsaan permukaan pit dan fisura
a. Syarat udara sama dengan point 3.
b. Cek keberhasilan pengetsaan dengan mengeringkannya dengan udara, permukaan yang teretsa akan tampak lebih putih
c. Jika tidak berhasil, ulangi proses etsa
d. Letakkan cotton roll baru, dan keringkan
e. Keringkan dengan udara selama 20-30 detik
2.8.7 Aplikasi bahan sealant
a. Self curing: campurkan kedua bagian komponen bahan, polimerisasi akan terjadi selama 60-90 detik.
b. Light curing: aplikasi dengan alat pabrikan (semacam syringe), aplikasi penyinaran pada bahan, polimerisasi akan terjadi dalam 20-30 detik.
2.8.8 Evaluasi permukaan oklusal
a. Cek oklusi dengan articulating paper
b. Penyesuaian dilakukan bila terdapat kontak berlebih (spot grinding)
(Donna Lesser, 2001)
B. GIC
• Sedangkan sealant SIK yang sering digunakan bersifat autopolimerisasi
(Sari Kervanto, 2009: 20)
• Sealant ionomer kaca memiliki kemampuan mencegah karies yang hampir sama dengan sealant berbasis resin. Manipulasi sealant semen ionomer kaca lebih mudah, dan tidak diperlukan tahapan pengetsaan pada permukaan gigi (Subramaniam, 2008).
• Berbeda dengan sealant berbasis resin, bahan sealant semen ionomer kaca melakukan interaksi khusus dengan enamel gigi dengan melepaskan kalsium, strontium dan ion fluor yang bersifat kariostatik dan mengurangi perkembangan karies pada daerah yang diberi sealant (Laurence J. Walsh, 2006).
2.9 Bahan Sealant Semen Ionomer Kaca
Semen ionomer kaca adalah nama generik dari sekelompok bahan yang menggunakan bubuk kaca silikat dan larutan asam poliakrilat. Bahan ini mendapatkan namanya dari formulanya yaitu suatu bubuk kaca dan asam ionomer yang mengandung gugus karboksil. Juga disebut sebagai semen polialkenoat. Bahan dalam semen ionomer kaca terdiri atas bubuk dan cairan.
a. Bubuk semen ionomer kaca
Bubuk adalah kaca kalsium fluoroaluminosilikat yang larut dalam asam. Komposisi dari bubuk semen ionomer kaca adalah silica, alumina, aluminium fluoride, calsium fluoride, sodium fluoride, dan aluminium phosphate. Bahan-bahan mentah digabung sehingga membentuk kaca yang seragam dengan memanaskannya samapi temperature 1100-1500 ºC. Lanthanum, strontium, barium, atau oksida seng ditambahkan untuk menimbulkan sifat radiopak (Kenneth J. Anusavice, 2004: 449).
b. Cairan semen ionomer kaca
Cairan yang digunakan untuk semen ini adalah larutan asam poliakrilat dengan konsentrasi 50%. Cairannya cukup kental dan cenderung membentuk gel setelah beberapa waktu. Pada sebagian besar semen, asam poliakrilat dalam cairan adalah dalam bentuk kopolimer dengan asam itikonik, maleik atau trikarbalik. Asam-asam ini cenderung menambah reaktivitas dari cairan, mengurangi kekentalan, dan mengurangi kecenderungan membentuk gel. Selain itu, memperbaiki karakteristik manipulasi dan meningkatkan waktu kerja dan memperpendek waktu pengerasan (Lloyd Baum, 1997: 254).
c. Pengerasan
Ketika bubuk dan cairan dicampur untuk membentuk suatu pasta (gambar 2), permukan partikel kaca akan terpajan asam. Ion-ion kalsium, aluminium, natrium dan fluorin dilepaskan ke dalam media yang bersifat cair. Rantai asam poliakrilat akan berikatan silang dengan ion-ion kalsium dan membentuk masa yang padat.
Selama 24 jam berikutnya, terbentuk fase baru dimana ion-ion aluminium menjadi terikat dalam campuran semen. Ini membuat semen menjadi lebih kaku. Ion natrium dan fluorin tidak berperan serta di dalam ikatan silang dari semen. Beberapa ion natrium dapat menngantikan ion-ion hidrogen dari gugus karboksil, sementara sisanya bergabung dengan ion-ion fluorin membentuk natrium fluoride yang menyebar merata di dalam semen yang mengeras (Kenneth J. Anusavice, 2004: 451).
Mekanisme pengikatan ionomer kaca dengan struktur gigi belum dapat diterangkan dengan jelas. Meskipun demikian, perekatan ini diduga terutama melibatkan proses kelasi dari gugus karboksil dari poliasam dengan kalsium di kristal apatit pada enamel dan dentin. Ikatan antara semen dengan enamel selalu lebih besar daripada ikatannya dengan dentin, mungkin karena kandungan anorganiknya enamel yang lebih banyak dan homogenitasnya lebih besar (Kenneth J. Anusavice, 2004: 452).
d. Sifat semen ionomer kaca
Semen ini memiliki sifat kekerasan yang baik, namun jauh inferior dibanding kekerasan bahan resin. Kemampuan adhesi melibatkan proses kelasi dari gugus karboksil dari poliasam dengan kalsium di kristal apatit enamel dan dentin. Semen ini memiliki sifat anti karies karena kemampuannya melepaskan fluor. Dalam proses pengerasan harus dihindarkan dari saliva karena mudah larut dalam cairan dan menurunkan kemampuan adhesi. Ikatan fisiko kimiawi antara bahan dan permukaan gigi sangat baik sehingga mengurangi kebocoran tepi tumpatan (Kenneth J. Anusavice, 2004: 453).
e. Indikasi fisure sealant semen ionomer kaca
Indikasi penggunaan Fissure sealant dengan semen ionomer kaca sebagai berikut:
a. Digunakan pada geligi sulung
b. Kekuatan kunyah relatif tidak besar
c. Pada insidensi karies tinggi
d. Gigi yang belum erupsi sempurna
e. Area yang kontaminasi sulit dihindari
f. Pasien kurang kooperatif

2.10 Teknik Aplikasi Fissure Sealant dengan Sealant Semen Ionomer Kaca
2.10.1 Pembersihan pit dan fisura pada gigi yang akan dilakukan aplikasi fissure sealant menggunakan brush dan pumis (Gambar 1)
Syarat pumis yang digunakan dalam perawatan gigi:
a. Memiliki kemampuan abrasif ringan
b. Tanpa ada pencampur bahan perasa
c. Tidak mengandung minyak
d. Tidak mengandung Fluor
e. Mampu membersihkan dan menghilangkan debris, plak dan stain
f. Memiliki kemampuan poles yang bagus
2.10.2 Pembilasan dengan air
Syarat air:
a. Air bersih
b. Air tidak mengandung mineral
c. Air tidak mengandung bahan kontaminan
2.10.3 Isolasi gigi
Gunakan cotton roll atau gunakan rubber dam
2.10.4 Keringkan permukaan gigi selama 20-30 detik dengan udara.
Syarat udara :
a. Udara harus kering
b. Udara tidak membawa air (tidak lembab)
c. Udara tidak mengandung minyak
d. Udara sebaiknya tersimpan dalam syringe udara dan dihembuskan langsung ke permukaan gigi.
2.10.5 Aplikasi bahan dentin kondisioner selama 10-20 detik (tergantung instruksi pabrik). Hal ini akan menghilangkan plak dan pelikel dan mempersiapkan semen beradaptasi dengan baik dengan permukaan gigi dan memberikan perlekatan yang bagus (Gambar 3).
2.10.6 Pembilasan dengan air selama 60 detik
Syarat air sama dengan point 2.
2.10.7 Pengeringan dengan udara setelah aplikasi dentin kondisioner permukaan pit dan fisura dilakukan pembilasan
a. Syarat udara sama dengan point 3.
b. Keringkan dengan udara selama 20-30 detik
2.10.8 Aplikasikan bahan SIK pada pit dan fisura (Gambar 4).
2.10.9 Segera aplikasi bahan varnish setelah aplikasi fissure sealant dilakukan (Gambar 5).
2.10.10 Evaluasi permukaan oklusal
a. Cek oklusi dengan articulating paper
b. Penyesuaian dilakukan bila terdapat kontak berlebih (spot grinding)
(Departemen Kesehatan North Sidney, 2008)
C. resin komposit modified glass ionomer
D. GIC modified resin(kompomer)








6. Cara
TAHAPAN APLIKASI FISSURE SEALANT BERBASIS SEMEN IONOMER KACA (Gambar 1-6)
(Dr J. Lucas dalam www. gcasia.info, 2008)




















Gambar 1. Gigi molar yang baru erupsi setelah dilakukan penyikatan guna menghilangkan plak dan debris.





Gambar 2. Pencampuran bahan fissure sealant hingga merata.





Gambar 3. Pemberian kondisioner setelah gigi dibersihkan dan dikeringkan.





Gambar 4. Aplikasi bahan pada pit dan fisura.





Gambar 5. Aplikasi bahan varnish segera setelah aplikasi bahan selesai.






Gambar 6. gigi molar yang telah dilakukan fissure sealant.




TAHAPAN APLIKASI FISSURE SEALANT BERBASIS RESIN (Gambar 7-12)
(Dr. Crist Bryant dalam Donna Lesser, RDH, BS. 2001)



Gambar 7. Pit dan fisura pada gigi.






Gambar 8. Gigi molar yang telah dilakukan fissure sealant dengan fissure sealant berbasis resin.





Gambar 9. Bahan fissure sealant berbasis resin (light cure).





Gambar 10. Aplikasi sinar tampak untuk membantu proses polimerisasi fissure sealant berbasis resin




Gambar 11. Gigi-gigi yang telah dilakukan fissure sealant berbasis resin berwarna pink sebelum polimerisasi.



Gambar 12. Gigi-gigi yang telah dilakukan fissure sealant berbasis resin sewarna gigi setelah polimerisasi.




Apa hubungan pendekatan psikologis thd upaya preventif pada gigi anak??

Smakin bagus upya pndkatan psiklogis pd anak,upaya preventif akan tercapai.

Minggu, 22 Mei 2011

“ FRAKTUR MANDIBULA “

A. FRAKTUR MANDIBULA

1. Definisi
- Rusaknya kontinuitas tulang mandibular yang dapat disebabkan oleh trauma baik secara langsung atau tidak langsung.
- Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan sendi, tulang rawan epifisis, baik yang bersifat total maupun parsial, yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa.
Trauma yang menyebabkan tulang patah dapat berupa trauma langsung dan trauma tidak langsung. Trauma pada wajah sering melibatkan tulang-tulang pembentuk wajah, diantaranya mandibula.
Mandibula merupakan bagian dari tulang wajah yang sering mengalami cedera karena posisinya yang menonjol, dan merupakan sasaran pukulan dan benturan.
Trauma yang terjadi pada mandibula sering menimbulkan farktur yang menganggu fungsi pengunyahan. Fraktur mandibula adalah salah satu cedera wajah yang sering ditemukan dan biasanya disebabkan oleh trauma langsung.
Penyebab utama dari fraktur di seluruh dunia adalah kecelakaan lalu lintasdankekerasan.
Sepertiga fraktur mandibula terjadi di daerah kondilar-subkondilar, sepertiga terjadi di daerah angulus, dan sepertiga lainnya terjadi di daerah korpus, simfisis, dan parasimfisis. Daerah-daerah tersebut merupakan daerah lemah pada mandibula. Angulus diperlemah oleh adanya gigi molar ketiga dan ke anterior, daerah parasimfisis diperlemah oleh akar gigi taring yang panjang, dan daerah subkondilar merupakan daerahyangtipis.
Oleh karena mandibula bagian tersering mengalami fraktur pada trauma dibagian wajah, penting untuk mengetahui dengan tepat penanganan awal, tindakan perbaikan serta mewaspadai komplikasi yang akan terjadi, dari teknik yang dipilih untuk kesembuhan yang sempurna baik dari segi fungsi pengunyahan dan estetika wajah.
Penatalaksanaan fraktur mandibula dilakukan berdasarkan beberapa prinsip dental dan ortopedi meliputi : 1) reduksi dari sisi yang fraktur sesuai bentuk anatomi yang benar; 2) restorasi oklusi yang salah; 3) imobilisasi untuk menunjang kesembuhan; 4) restorasi fungsi seoptimal dan seawal mungkin serta 5) pencegahan infeksi. (3,4)
- Fraktur atau patah tulang rahang adalah hilangnya kontuinitas pada rahang. Pada daerah rahang meliputi tulang rahang atas (maxilla), rahang bawah (mandibula) yang diakibatkan oleh trauma pada wajah ataupun keadaan patologis, dapat berakibat fatal bila tidak ditangani dengan benar.
- Fraktur mandibula adalah rusaknya kontinuitas tulang mandibular yang dapat disebabkan oleh trauma baik secara langsung atau tidak langsung. Fraktur mandibula dapat terjadi pada bagian korpus, angulus, ramus maupun kondilus (emedicine,2011)
- Fraktur adalah discontinuitas dari jaringan tulang yang biasanya disebabkan oleh adanya kecelakaan yang timbul secara langsung.
- Fraktur mandibula adalah putusnya kontinuitas tulang mandibula. Hilangnya kontinuitas pada rahang bawah (mandibula), yang diakibatkan trauma oleh wajah ataupun keadaan patologis, dapat berakibat fatal bila tidak ditangani dengan benar.

2. Anatomi (emedicine,2011)
- Mandibula adalah tulang rahang bawah pada manusia dan berfungsi sebagai tempat menempelnya gigi geligi rahang bawah. Mandibula berhubungan dengan basis kranii dengan adanya temporo-mandibular joint dan disangga oleh otot – otot mengunyah.

Gambar 14. Anatomi Mandibula (emedicine,2011)
Mandibula dipersarafi oleh saraf mandibular, alveolar inferior, pleksus dental inferior dan nervus mentalis. Sistem vaskularisasi pada mandibula dilakukan oleh arteri maksilari interna, arteri alveolar inferior, dan arteri mentalis.
- Mandibula merupakan tulang yang besar dan paling kuat pada daerah muka, terdapat barisan gigi. Mandibula dibentuk oleh dua bagian simetris, yang mengadakan fusi dalam tahun pertama kehidupan. Tulang ini terdiri dari korpus yaitu suatu lengkungan tapal kuda dan sepasang ramus yang pipih dan lebar, yang mengarah keatas pada bagian belakang dari korpus. Pada ujung dari masing-masing ramus didapatkan dua buah penonjolan disebut prosesus kondiloideus dan prosesus koronoideus. Prosesus kondiloideus terdiri dari kaput dan kolum. Permukaan luar dari korpus mandibula pada garis median, didapatkan tonjolan tulang halus yang disebut simfisis mentum, yang merupakan tempat pertemuan embriologis dari dua buah tulang.
Bagian atas korpus mandibula membentuk tonjolan disebut prosesus alveolaris, yang mempunyai 16 buah lubang untuk tempat gigi. Bagian bawah korpus mandibula mempunyai tepi yang lengkung dan halus. Pada pertengahan korpus mandibula, kurang lebih 1 inci dari simfisis, didapatkan foramen mentalis yang dilalui oleh vasa dan nervus mentalis. Permukaan dalam dari korpus mandibula cekung dan didapatkan linea milohiodea yang merupakan pertemuan antara tepi belakang ramus mandibula. Angulus mandibula terletak subkutan dan mudah diraba pada 2-3 jari di bawah lobulus aurikularis.(9)
Prosesus koronoideus yang tipis dan tajam merupakan tempat insersio m.temporalis. Prosesus kondiloideus membentuk persendian dengan fossa artikularis permukaan infratemporalis dari skuama os temporalis. Kartilago artikuler melapisi bagian superior dan anterior dari prosesus kondiloideus, sedangkan bagian posterior tidak. Permukaan lateral dari prosesus kondiloideus ditutupi oleh kelenjar parotis dan terletak di depan tragus. Antara prosesus koronoideus dan prosesus kondiloideus membentuk sulkus mandibula dimana lewat vasa dan nervus. Kira-kira ditengah dari permukaan medial ramus mandibula didpatkan foramen mandibula. Melalui foramen ini masuk kedalam kanal yang mengarah ke bawah depan di dalam jaringan tulang, dimana dilalui oleh vasa pembuluh darah dan saluran limfe.(9)
Mandibula mendapat nutrisi dari a.alveolaris inferior cabang pertama dari a.maksillaris yang masuk melalui foramen mandibularis, bersama vena dan n.alveolaris. A.alveolaris inferior memberi cabang-cabang ke gigi-gigi bawah serta gusi sekitarnya, kemudian di foramen mentalis keluar sebagai a.mentalis. Sebelum keluar dari foramen mentalis bercabang insisivus yang berjalan ke depan di dalam tulang. A.mentalis beranastomosis dengan a.fasialis, a.submentalis, a.labii inferior. A.submentalis dan a.labii inferior merupakan cabang dari a.facialis. a.mentalis memberi nutrisi ke dagu. Sedangkan aliran balik dari mandibula melalui v.alveolaris inferior ke v.fasialis posterior. V.mentalis mengalirkan darah ke v.submentalis yang selanjutnya mengalirkan darah ke v.fasialis anterior. V. fasialis posterior dan v.fasialis comunis mengalirkan darah ke v.jugularis interna.
Aliran limfe ,mandibula menuju ke limfe node submandibularis yang selanjutnya menuju ke rantai jugularis interna.
N.alveolaris inferior cabang dari n.mandibularis berjalan bersama arteri dan vena alveolaris inferior masuk melalui foramen mandibularis berjalan di kanalis mandibularis memberi cabang sensoris ke gigi bawah, dan keluar di foramen sebagai n.mentalis, merupakan araf sensoris daerah dagu dan bibir bawah.
Ada 4 pasang otot yang disebut sebagai otot pengunyah, yaitu m.masseter, m. temporalis, m.pterigoideus lateralis dan m.pterigoideus medialis. Sedangkan m.digastrikus, walaupun tidak termasuk otot-otot pengunyah, namun mempunyai fungsi yang penting pada mandibula. Bila otot digastrikus kanan dan kiri berkontraksi mandibula bergerak ke bawah dan tertarik ke belakang dan gigi-gigi terbuka. Saat mandibula terstabilisasi m.digastrikus dan m.suprahyoid mengangkat os hyoid, keadaan ini penting untuk proses menelan.
Gerakan mandibula pada waktu mengunyah mempunyai 2 arah, yaitu :
– Rotasi melalui sumbu horisontalyang melalui senteral dari kondilus
– Sliding atau gerakan ke arah lateral dari mandibula pada persendian temporomandibuler.(9)
Mengunyah merupakan suatu proses terdiri dari 3 siklus, yaitu :
a. Fase membuka.
b. Fase memotong, menghancurkan, menggiling. Otot-otot mengalami kontraksi isotonic atau relaksasi. Kontraksi isometric dari elevbator hanya terjadi bila gigi atas dan bawah rapat atau bila terdapat bahan yang keras diantaranya akhir fase menutup.
c. Fase menutup
Pada akhir fase menutup dan fase oklusi didapatkan kenaikan tonus pada otot elevator.(9)
Setelah makanan menjadi lembut berupa suatu bolus dilanjutkan dengan proses menelan. Untuk fungsi buka, katub mulut, mengunyah dan menelan yang baik dibutuhkan :
• Tulang mandibula yang utuh dan rigid
• Oklusi yang ideal
• Otot-otot pengunyah beserta persarafan serta
• Persendian temporomandibular (TMJ) yang utuh.

3. Etiologi
(emedicine,2011)
- Penyebab terbanyak adalah kecelakaan lalu lintas dan sebagian besar adalah pengendara sepeda motor. Sebab lain yang umum adalah trauma pada muka akibat kekerasan, olahraga. Berdasarkan penelitian didapatkan data penyebab tersering fraktur mandibula adalah :
- Kecelakaan berkendara 43%
- Kekerasan 34%
- Kecelakaan kerja 7%
- Jatuh 7%
- Olahraga 4%
- Sebab lain 5%
Fraktur mandibula dapat juga disebabkan oleh adanya kelainan sistemik yang dapat menyebabkan terjadinya fraktur patologis seperti pada pasien dengan osteoporosis imperfekta.
- Setiap pukulan keras pada muka dapat mengakibatkan terjadinya suatu fraktur pada mandibula. Daya tahan mandibula terhadap kekuatan impak adalah lebih besar dibandingkan dengan tulang wajah lainnya (Nahum, 1995). Meskipun demikian fraktur mandibula lebih sering terjadi dibandingkan dengan bagian skeleton muka lainnya.
- Fraktur mandibula dapat terjadi karena kecelakaan lalulintas, kecelakaan industri atau kecelakaan kerja, kecelakaan rumah tangga, mabuk dan perkelahian atau kekerasan fisik. Menurut survey di District of Columbia Hospital, dari 540 kasus fraktur, 69% kasus terjadi akibat kekerasan fisik (perkelahian), 27% akibat kecelakaan lalu-lintas, 12% akibat kecelakaan kerja, 2% akibat kecelakaan saat olahraga dan 4% karena sebab patologi.
- Arah serta tipe impak lebih penting dalam mempertimbangkan fraktur mandibula dibandingkan dengan fraktur di daerah lain pada skeleton fasial, karena faktor ini dipakai untuk menentukan pola injuri mandibular. Fraktur mandibula adalah akibat dari :
• Kecelakaan langsung (direct violence)
• Kecelakaan tidak langsung (indirect violence)
• Kontraksi otot yang sagat berlebihan
Dilihat dari bentuk mandibula, maka setiap kecelakaan langsung yang mengenai satu tempat, akan menghasilkan kekuatan dimensi tidak langsung yang mengenai bagian lain dan biasanya pada bagian yang berlawanan dari tulang. Kecelakaan tidak langsung sudah cukup untuk menyebabkan terjadinya fraktur yang kedua atau ketiga.


4. Tanda dan Gejala
- Gejala yang timbul dapat berupa dislokasi, yaitu berupa perubahan posisi rahang yang menyebabkan maloklusi atau tidak berkontaknya rahang bawah dan rahang atas. Jika penderita mengalami pergerakan abnormal pada rahang dan rasa yang sakit jika menggerakkan rahang. Pembangkakan pada posisi fraktur juga dapat menetukan lokasi fraktur pada penderita. Krepitasi berupa suara pada saat pemeriksaan akibat pergeseran dari ujung tulang yang fraktur bila rahang digerakkan, laserasi yang terjadi pada daerah gusi, mukosa mulut dan daerah sekitar fraktur, discolorisasi perubahan warna pada daerah fraktur akibat pembengkaan, terjadi pula gangguan fungsional berupa penyempitan pembukaan mulut, hipersalifasi dan halitosis, akibat berkurangnya pergerakan normal mandibula dapat terjadi stagnasi makanan dan hilangnya efek “self cleansing” karena gangguan fungsi pengunyahan, kelumpuhan dari bibir bawah, akibat terjadinya fraktur di bawah nervus alveolaris.
- Fraktur mandibula merupakan fraktur kedua tersering pada kerangka wajah.
Tanda dan gejala yang mengarahkan pada diagnosa fraktur mandibula termasuk (Sjamsuhidrajat, 1997; Munir, 2002):
• Pembengkakan, ekimosis ataupun laserasi kulit mandibula
• Nyeri atau anestesi oleh karena kerusakan nervus alveolaris inferior
• Nyeri saat mengunyah
• Maloklusi geligi
• Gangguan mobilitas atau adanya krepitasi
• Malfungsi berupa trismus, nyeri saat mengunyah
• Gangguan jalan nafas
• Deformitas tulang
• Asimetris
• palpasi teraba garis fraktur
• mati rasa bibir bawah akibat kerusakan pada n. mandibularis
Umumnya pasien dapat menyatakan dengan tepat apakah rangkaian gigi atas dan bawah dapat mengatup dengan pas atau tidak. Pemeriksaan intraoral dapat memperlihatkan laserasi di atas mendibula atau mungkin deformitas mandibula yang jelas terlihat atau dapat diraba. Bagian mandibula yang paling sering fraktur adalah kondilus dan angulus mandibula. (Wilson,1997; Munir, 2002)

Gambar 14 Fraktur mandibula (health-allrefer, 2009)
• Nyeri hebat di tempat fraktur
• Tak mampu menggerakkan dagu bawah
• Diikuti tanda gejala fraktur secara umum, seperti : fungsi berubah, bengkak, kripitasi, sepsis pada fraktur terbuka, deformitas.
TRAUMA
Trauma, yaitu benturan pada tulang. Biasanya penderita terjatuh dengan posisi dagu langsung terbentur dengan benda keras (jalanan).

Tanda-tanda patah pada tulang rahang meliputi :
1. Dislokasi, berupa perubahan posisi rahang yg menyebabkan maloklusi atau tidak berkontaknya rahang bawah dan rahang atas
2. Pergerakan rahang yang abnormal, dapat terlihat bila penderita menggerakkan rahangnya atau pada saat dilakukan .
3. Rasa Sakit pada saat rahang digerakkan
4. Pembengkakan pada sisi fraktur sehingga dapat menentukan lokasi daerah fraktur.
5. Krepitasi berupa suara pada saat pemeriksaan akibat pergeseran dari ujung tulang yang fraktur bila rahang digerakkan.
6. Laserasi yg terjadi pada daerah gusi, mukosa mulut dan daerah sekitar fraktur.
7. Discolorisasi perubahan warna pada daerah fraktur akibat pembengkakan
8. Disability, terjadi gangguan fungsional berupa penyempitan pembukaan mulut.
9. Hipersalivasi dan Halitosis, akibat berkurangnya pergerakan normal mandibula dapat terjadi stagnasi makanan dan hilangnya efek “self cleansing” karena gangguan fungsi pengunyahan.
10. Numbness, kelumpuhan dari bibir bawah, biasanya bila fraktur terjadi di bawah nervus alveolaris.

5. Klasifikasi (emedicine,2011)
- Menurut R. Dingman dan P.Natvig pada tahun 1969 fraktur pada mandibula dibagi menjadi beberapa kategori, yakni :
a. Menurut arah fraktur (horizontal/vertikal) dan apakah lebih menguntungkan dalam perawatan atau tidak
b. Menurut derajat keparahan fraktur (simpel/tertutup/mengarah ke rongga mulut atau kulit).
c. Menurut tipe fraktur (Greenstick/kompleks/kominutiva/impaksi/depresi)









Gambar 15. Tipe fraktur mandibula (emedicine,2011)
d. Menurut ada atau tidaknya gigi dalam rahang (dentulous, partially dentulous, edentulous)

e. Menurut lokasi (regio simfisis, regio kaninus, regio korpus, angulus, ramus, prosesus kondilus, prosesus koronoid)










Gambar 16. Lokasi fraktur mandibula (emedicine,2011)

KLASIFIKASI FRAKTUR SECARA UMUM
Banyak klasifikasi fraktur yang ditulis dalam berbagai buku, namun secara praktis dapat dikelompokkan menjadi (Armis, dr) :
1. Menurut Penyebab Terjadinya Fraktur
1. Fraktur traumatik
• Trauma langsung (direk)
Trauma itersebut langsung mengenai anggota tubuh penderita. Contohnya seperti pada antebrakhii yang menahan serangan pukulan dari lawan yang mengakibatkan terjadinya fraktur pada ulna atau kedua tulang tersebut (radius dan ulna).
• Trauma tidak langsung (indirek)
Terjadi seperti pada penderita yang jatuh dengan tangan menumpu dan lengan atas-bawah lurus, berakibat fraktur kaput radii atau klavikula. Gaya tersebut dihantarkan melalui tulang-tulang anggota gerak atas dapat berupa gaya berputar, pembengkokan (bending) atau kombinasi pembengkokan dengan kompresi yang berakibat fraktur butterfly, maupun kombinasi gaya berputar, pembengkokan dan kompresi seperti fraktur oblik dengan garis fraktur pendek. Fraktur juga dapat terjadi akibat tarikan otot seperti fraktur patela karena kontraksi quadrisep yang mendadak.
2. Fraktur fatik atau stress
Trauma yang berulang dan kronis pada tulang yang mengakibatkan tulang menjadi lemah. Contohnya pada fraktur fibula pada olahragawan.
3. Fraktur patologis
Pada tulang telah terjadi proses patologis yang mengakibatkan tulang tersebut rapuh dan lemah. Biasanya fraktur terjadi spontan. Penyebab fraktur patologi adalah :
1. Umum (general)
Tumor dissemineted (myelomatosis), osteoporosis penyakit metabolis seperti : ricket dan ostoemalasia, adrenal hiperkortikolisme atau terapi kortikosteroid yang lama, hiperparatiroidisme, penyakit paget dan kondisi neuropati seperti sipilis dan siringomelia, osteogenesis imperfekta.
2. Lokal
Tumor sekunder seperti : tumor mammae, prostat, tiroid, ginjal dan paru-paru. Tumor ganas primer pada tulang, tumor jinak pada tulang, hiperemi dan infektif dekalsifikasi seperti osteitis misalnya :
2. Menurut Hubungan dengan Jaringan Ikat Sekitarnya
1. Fraktur simpel
Disebut juga fraktur tertutup, oleh karena kulit di sekeliling fraktur sehat dan tidak sobek.
2. Fraktur terbuka
Kulit di sekitar fraktur sobek sehingga fragmen tulang berhubungan dengan dunia luar (bone expose) dan berpotensi untuk menjadi infeksi. Fraktur terbuka dapat berhubungan dengan ruangan di tubuh yang tidak steril seperti rongga mulut.
3. Fraktur komplikasi
Fraktur tersebut berhubungan dengan kerusakan jaringan atau struktur lain seperti saraf, pembuluh darah, organ visera atau sendi.
3. Menurut Bentuk Fraktur
1. Fraktur komplit
Garis fraktur membagi tulang menjadi dua fragmen atau lebih. Garis fraktur bisa transversal, oblik atau spiral. Kelainan ini dapat menggambarkan arah trauma dan menentukan fraktur stabil atau unstabile.
2. Fraktur inkomplit
Kedua fragmen fraktur terlihat saling impaksi atau masih saling tertancap.

3. Fraktur komunitif
Fraktu yang menimbulkan lebih dari dua fragmen.
4. Fraktur kompresi
Fraktur ini umumnya terjadi di daerah tulang kanselus.
Tersebut diatas merupakan klasifikasi fraktur secara umum. Sedangkan klasifikasi fraktur mandibula diantaranya adalah:
KLASIFIKASI FRAKTUR MANDIBULA
1. Menunjukkan regio-regio pada mandibulaA
Gambar regio pada tulang mandibula
2. Menunjukkan frekuensi fraktur di masing-msing regio tersebut
Gambar frekuensi fraktur pada masing-masing regio mandibula
Frekuensi terjadinya fraktur pada mandibula adalah : 2% pada regio koronoid, 36% pada regio kondilus, 3% pada regio ramus, 20% pada regio angulus, 21% pada regio korpus,12% pada regio simfisis, 3% pada regio alveolus.
3. Berdasarkan ada tidaknya gigi
Klasifikasi berdasarkan gigi pasien penting diketahui karena akan menentukan jenis terapi yang akan kita ambil. Dengan adanya gigi, penyatuan fraktur dapat dilakukan dengan jalan pengikatan gigi dengan menggunakan kawat. Penjelasan gambar tentang klasifikasi fraktur di atas :
1. Fraktur kelas 1 : gigi terdapat di 2 sisi fraktur, penanganan pada fraktur kelas 1 ini dapat melalui interdental wiring (memasang kawat pada gigi)
2. Fraktur kelas 2 : gigi hanya terdapat di salah satu fraktur
3. Fraktur kelas 3 : tidak terdapat gigi di kedua sisi fraktur, pada keadaan ini dilakukn melalui open reduction, kemudian dipasangkan plate and screw, atau bisa juga dengan cara intermaxillary fixation.
4. Berdasarkan tipe fraktur mandibula:
a. Simple
b. Greenstick
c. Comminuted
d. Class I
e. Class II
f. Class III
Dengan melihat cara perawatan, maka pola fraktur mandibula dapat digolongkan menjadi :
1. Fraktur Unilateral
Fraktur ini biasanya hanya tunggal, tetapi kadang terjadi lebih dari satu fraktur yang dapat dijumpai pada satu sisi mandibula dan bila hal ini terjadi, sering didapatkan pemindahan frakmen secara nyata. Suatu fraktur korpus mandibula unilateral sering terjadi
2. Fraktur Bilateral
Fraktur bilateral sering terjadi dari suatu kombinasi antara kecelakaan langsung dan tidak langsung. Fraktur ini umumnya akibat mekanisme yang menyangkut angulus dan bagian leher kondilar yang berlawanan atau daerah gigi kanius dan angulus yang berlawanan.
3. Fraktur Multipel
Gabungan yang sempurna dari kecelakaan langsungdan tidak langsung dapat menimbulkan terjadinya fraktur multipel. Pada umumnya fraktur ini terjadi karena trauma tepat mengenai titik tengah dagu yang mengakibatkan fraktur pada simpisis dan kedua kondilus.
4. Fraktur Berkeping-keping (Comminuted)
Fraktur ini hampir selalu diakibatkan oleh kecelakaan langsung yang cukup keras pada daerah fraktur, seperti pada kasus kecelakaan terkena peluru saat perang. Dalam sehari-hari, fraktur ini sering terjadi pada simfisis dan parasimfisis. Fraktur yang disebabkan oleh kontraksi muskulus yang berlebihan. Kadang fraktur pada prosesus koronoid terjadi karena adanya kontraksi refleks yang datang sekonyong-konyong mungkin juga menjadi penyebab terjadinya fraktur pada leherkondilar.
Oikarinen dan Malstrom (1969), dalam serangkaian 600 fraktur mandibula menemukan 49,1% fraktur tunggal, 39,9% mempunyai dua fraktur, 9,4% mempunyai tiga fraktur, 1,2% mempunyai empat fraktur, dan 0,4% mempunyai lebih dari empat fraktur.
Klasifikasi
1. Berdasarkan Tipe
a. Single fraktur
Pada kasus single fraktur, tulang hanya mengalami fraktur pada satu daerah. Fraktur semacam ini bersifat unilateral. Pada mandibula, kasus ini paling sering terjadi dibeberapa lokasi berikut : (6)
- Angulus, khususnya jika ada gigi molar ke-3 yang tidak bererupsi.
- Foramen mentale, dan
- Leher kondilus.
b. Multiple fraktur
Pada multiple farktur, tulang mengalami fraktur pada dua daerah atau lebih. Multiple fraktur biasanya bilateral. Tipe fraktur inilah yang paling sering terjadi pada mandibula. Multiple fraktur dapat pula bersifat unilateral, dimana tulang yang mengalami fraktur terbagi menjadi beberapa bagian pada salah satu sisi.(6)
c. Simple fraktur
Simple fraktur adalah fraktur ang tidak berhubungan dengan lingkungan luar intraoral maupun ekstraoral. Fraktur semacam ini dapat terjadi dimana saja pada ramus mandibula, mulai dari kondilus hingga angulus.(6)
d. Compound fraktur
Compound fraktur merupakan fraktur yang memiliki hubungan dengan lingkungan luar karena disertai dengan pembentukan luka terbuka. Fraktur ini paling sering terjadi disebelah anterior angulus.(6)
e. Comminuted fraktur
Comminuted fraktur paling sering terjadi didaerah simfisis mandibula. Pada kasus fraktur ini tulang terbagi menjadi beberapa bagian atau hancur.(6)
f. Complicated fraktur
Fraktur yang sekaligus terjadi pada maxilla dan mandibula, juga fraktur yang terjadi pada keadaan dimana maxilla atau mandibula mengalami edentulisem, digolongkan dalam complicated fraktur.(6)
2. Berdasarkan Lokasi
a. Fraktur dento-alveolar
Fraktur dento-alveolar terdiri dari afusi, subluksasi atau fraktur gigi dengan maupun tanpa disertai fraktur alveolar. Fraktur ini dapat saja ditemukan sebagai satu-satunya fraktur yang terjadi pada mandibula, dapat pula berkombinasi atau berhubungan dengan fraktur dibagian lain pada mandibula.(6)
b. Fraktur Kondilus
Fraktur condilus dapat terjadi secara intracapsul, tetapi lebih sering terjadi secara ekstracapsul, dengan atau tanpa dislokasi kepala kondilus. Fraktur pada daerah ini biasanya gagal terdeteksi melalui pemeriksaan sederhana.(6)
c. Fraktur processus koronoid
Fraktur processus koronoid jarang terjadi, dan biasanya ditemukan saaat dilakukannya operasi kista besar. Fraktur ini sulit terdiagnosis secara pasti pada pemeriksaan klinis.(6)
d. Fraktur ramus
Otot pterygiomasseter menghasilkan efek splinting yang kuat sehingga fraktur pada daerah ramus jarang terjadi.(6)
e. Fraktur angulus
Daerah ini umumnya mengalami karena tulang pada daerah ini lebih tipis jika dibandingkan dengan tulang pada daerah korpus. Relative tingginya insiden impaksi molar ke tiga menyebabkan daerah ini menjadi lemah. (6)
f. Fraktur korpus
Keberadaan gigi kaninus pada kasus fraktur korpus menyebabkan daerah ini menjadi lemah. Tidak bererupsinya gigi molar ke tiga juga berhubungan dengan kejadian fraktur ini.(6)
g. Fraktur simfisis dan parasimfisis
Fraktur pada daerah simfisis dan parasimfisis jarang terjadi. Ketebalan mandibula pada daerah ini menjamin bahwa fraktur pada daerah simfisis dan para simfisis hanyalah berupa keretakan halus. Keadaan ini akan menghilang jika posisi tulang tetap stabil dan oklusi tidakterganggu.(6)

6. Frekuensi (emedicine,2011)
Secara umum, paling sering terjadi pada korpus mandibula, angulus dan kondilus, sedangkan pada ramus dan prosesus koronoideus lebih jarang terjadi. Berdasarkan penelitian, dapat diurutkan seperti berikut
a. Korpus 29 %
b. Kondilus 26%
c. Angulus 25%
d. Simfisis 17%
e. Ramus 4%
f. Proc.Koronoid 1%

7. Patofisiologi (emedicine,2011)
Derajat keparahan fraktur sangat bergantung pada kekuatan trauma. Karena itu fraktur kominutiva dapat dipastikan terjadi karena adanya kekuatan energi yang besar yang menyebabkan trauma. Berdasarkan penelitian pada 3002 pasien dengan fraktur mandibula, diketahui bahwa adanya gigi molar 3 bawah meningkatkan resiko terjadinya fraktur angulus mandibula sampai 2 kali lipat.

8. Manifestasi Klinis (emedicine,2011)
Pasien dengan fraktur mandibula umumnya datang dengan adanya deformitas pada muka, baik berupa hidung yang masuk kedalam, mata masuk kedalam dan sebagainya. Kondisi ini biasa disertai dengan adanya kelainan dari fungsi organ – organ yang terdapat di muka seperti mata terus berair, penglihatan ganda, kebutaan, anosmia, kesulitan bicara karena adanya fraktur mandibula, maloklusi sampai kesulitan bernapas karena hilangnya kekuatan untuk menahan lidah pada tempatnya sehingga lidah menutupi rongga faring.

9. Diagnosis (emedicine,2011)

10. Diagnosis

Diagnosis fraktur mandibula dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dari riwayat kejadian, pemeriksaan klinis, dan pemeriksaan radiologis.(14)

I. Anamnesis
Pada anamnesis keluhan subyektif berkaitan dengan fraktur mandibula dicurigai dari adanya nyeri, pembengkakan oklusi abnormal, mati rasa pada distribusi saraf mentalis, pembengkakan, memar, perdarahan dari soket gigi, gigi yang fraktur atau tunggal, trismus, ketidakmampuan mengunyah.(8) Selain itu keluhan biasanya disertai riwayat trauma seperti kecelakaan lalu lintas, kekerasan, terjatuh, kecelakaan olah raga ataupun riwayat penyakit patologis.(12)
II. Pemeriksaan Klinis
a. Pemeriksaan klinis pasien secara umum
Umumnya trauma maksilofasial dapat diketahui keberadaannya pada pemeriksaan awal (primary survey) atau pemeriksaan sekunder (secondary survey). (2) Pemeriksaan saluran napas merupakan suatu hal penting karena trauma dapat saja menyebabkan gangguan jalan napas. Penyumbatan dapat disebabkan oleh terjatuhnya lidah kearah belakang, dapat pula oleh tertutupnya saluran napas akibat adanya lendir, darah, muntahan, dan benda asing.(11)
b. Pemeriksaan local fraktur mandibula
1. Pemeriksaan klinis ekstraoral
Tampak diatas tempat terjadinya fraktur biasanya terjadi ekimosis dan pembengkakan. Seringpula terjadi laserasi jaringan lunak dan bisa terlihat jelas deformasi dari kontur mandibula yang bertulang. Jika terjadi perpindahan tempat dari fragmen-fragmen itu pasien tidak bisa menutup geligi anterior, dan mulut menggantung kendur dan terbuka. Pasien sering kelihatan menyangga rahang bawah dengan tangan. Dapat pula air ludah bercampur darah menetes dari sudut mulut pasien.(11)
Palpasi lembut dengan ujung-ujung jari dilakukan terhadap daerah kondilus pada kedua sisi, kemudian diteruskan kesepanjang perbatasan bawah mandibula. Bagian-bagian melunak harus ditemukan pada daerah-daerah fraktur, demikian pula terjadinya perubahan kontur dan krepitasi tulang. Jika fraktur mengenai saraf mandibula maka bibir bawah akan mengalami mati rasa.(11)
2. Pemeriksaan klinis intraoral
Setiap serpihan gigi yang patah harus dikeluarkan. Dari dalam mulut. Sulkus bukal diperiksa adanya ekimosis dan kemudian sulkus lingual. Hematoma didalam sulkus lingual akibat trauma rahang bawah hampir selalu patognomonik fraktur mandibula.(11)
Dengan hati-hati dilakukan palpasi pada daerah dicurigai farktur ibu jari serta telunjuk ditempatkan di kedua sisi dan ditekan untuk menunjukkan mobilitas yang tidak wajar pada daerah fraktur.(11)
3. Pemeriksaan Radiologis
Evaluasi radiografis dibutuhkan untuk mempertegas bukti dan memberikan data yang lebih akurat.(5) Adapun pemeriksaan radiologist yang dapat dilakukan yaitu 14)
a. Foto panoramic dapat memperlihatkan keseluruhan mandibula dalam satu foto. Pemerikasaan ini memerlukan kerjasama pasien, dan sulit dilakukan pada pasien trauma, selain itu kurang memperlihatkan TMJ, pergeseran kondilus medial dan fraktur prosessus alveolar.
b. Pemeriksaan radiografik defenitif terdiri dari fotopolos mandibula, PA, oblik lateral.
c. CT Scan baik untuk fraktur kondilar yang sulit dilihat dengan panorex.

- Diagnosis pasien dengan fraktur mandibula dapat dilakukan dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada pemeriksaan fisik dapat dilakukan dengan pertama – tama melakukan inspeksi menyeluruh untuk melihat adanya deformitas pada muka, memar dan pembengkakan. Langkah berikut yang dilakukan adalah dengan mencoba merasakan tulang rahang dengan palpasi pada pasien. Setelah itu lakukan pemeriksaan gerakan mandibula. Setelah itu dilanjutkan dengan memeriksa bagian dalam mulut. Pasien dapat diminta untuk menggigit untuk melihat apakah ada maloklusi atau tidak. Setelah itu dapat dilakukan pemeriksaan satbilitas tulang mandibula dengan meletakkan spatel lidah diantara gigi dan lihat apakah pasien dapat menahan spatel lidah tersebut. Untuk pemeriksaan penunjang, yang paling penting untuk dilakukan adalah adalah rontgen panoramik, sebab dengan foto panoramik kita dapat melihat keseluruhan tulang mandibula dalam satu foto. Namun pemeriksaan ini memberikan gambaran yang kurang detil untuk melihat temporo-mandibular joint, regio simfisis dan alevolar.
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah dengan foto rontgen polos. Dapat dilakukan untuk melihat posisi oblik-lateral, oklusal, posteoanterior dan periapikal. Foto oblik-lateral dapat membantu mendiagnosa fraktur ramus, angulus dan korpus posterior. Namun regio kondilus, bikuspid dan simfisis seringkali tidak jelas. Foto oklusal mandibula dapat memperlihatkan adanya diskrepansi pada sisi medial dan lateral fraktur korpus mandibula. Posisi posteroanterior Caldwell dapat memperlihatkan adanya dislokasi medial atau lateral dari fraktur ramus, angulus, korpus maupun simfisis. Pemeriksaan CT-scan juga dapat digunakan untuk membantu diagnosa fraktur mandibula.CT-scan dapat membantu untuk melihat adanya fraktur lain pada daerah wajah termasuk os.frontal, kompleks naso-ethmoid-orbital, orbital dan seluruh pilar penopang kraniofasial baik horizontal maupun vertikal. CT-scan juga ideal untuk melihat adanya fraktur kondilus.

Diagnosis
1. Riwayat
Setiap fraktur mempunyai riwayat trauma. Posisi waktu kejadian merupakan informasi yang penting sehingga dapat menggambarkan tipe fraktur yang terjadi. Bila trauma ragu-ragu atau tidak ada maka kemungkian fraktur patologis tetap perlu dipilkirkan. Riwayat penderita harus dilengkapi apakah ada trauma daerah lain (kepala, torak, abdomen, pelvis dll). Pertanyaan-pertanyaan kepada penderita maupun pada orang yang lebih mengetahui harus jelas dan terarah, sehingga diperoleh informasi menganai : keadaan kardiovaskuler maupun sistem respirasi, apakah penderita merupakan penderita diabetes, atau penderita dengan terapi steroid yang lama maupun meminum obat-obat lain, alergi terhadap obat, makan atau minum terakhir dengan penggunaan obat-obat anestesi.
2. Pemeriksaan fisik
• Inspeksi : deformitas angulasi medial, lateral, posterior atau anterior, diskrepensi, rotasi, perpendekan atau perpanjangan, apakah ada bengkak atau kebiruan, pada luka yang mengarah ke fraktur terbuka harus diidentifikasi dan ditentukan menurut derajatnya menurut klasifikasi Gustillo et. al., 1990
• Palpasi : Nyeri tekan pada daerah faktur, nyeri bila digerakkan. Krepitasi : biasanya penderita sangat nyeri oleh sebab itu pemeriksaan ini harus gentle dan bila perlu dapat ditiadakan.
• Gerakan : gerakan luar biasa pada daerah fraktur. Gerakan sendi di sekitarnya terbatas karena nyeri, akibatnya fungsi terganggu
• Pemeriksaan trauma di tempat lain seperti kepala, torak, abdomen, traktus, urinarius dan pelvis
• Pemeriksaan komplikasi fraktur seperti neurovaskuler bagian distal fraktur yang berupa : pulsus arteri, warna kulit, temperatur kulit, pengembalian darah ke kapiler
3. Pemeriksaan Penunjang dengan sinar –X
Foto Waters
Pemeriksaan sinar-X A-P, lateral. Bila perlu dilakukan foto waters. Untuk pencitraan wajah digunakan proyeksi Waters sehingga bayangan bagian wajah tidak terganggu atau disamarkan oleh struktur tulang dasar tengkorak olah struktur tulang dasar tengkorak dan tulang servikal. Identitas penderita dan tanggal pemeriksaan dengan sinar penting dikerjakan sesudah tindakan atau pada tindak lanjut (folow up) penderita guna menentukan apakah sudah terlihat kalus, posisi fragmen dan sebagainya.
Jadi pemeriksaan dapat berfungsi memperkuat diagnosis, menilai hasil dan tindak lanjut penderita.
Gambar diatas menunjukkan cara pemeriksaan untun penegaan diagnosis fraktur mandibula dan menyingkirkan diagnosis bandingnya (fraktur maxilla dan fraktur zygoma).
- Diagnosis fraktur mandibula dapat ditunjukkan dengan adanya : rasa sakit, pembengkaan, nyeri tekan, dan maloklusi. Patahnya gigi, adanya gap, tidak ratanya gigi, tidak simetrisnya arcus dentalis, adanya laserasi intra oral, gigi yang longgar dan krepitasi menunujukkan kemungkinan adanya fraktur mandibula. Selain hal itu mungkin juga terjadi trismus (nyeri waktu rahang digerakkan). Evaluasi radiografis pada mandibula mencakup foto polos, scan dan pemeriksaan panoreks. Tapi pemeriksaan yang baik, yang dapat menunjukkan lokasi serta luas fraktur adalah dengan CT Scan. Pemeriksaan panoreks juga dapat dilakukan, hanya saja diperlukan kerja sama antara pasien dan fasilitas kedokteran gigi yang memadai.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
• X.Ray
• Bone scans, Tomogram, atau MRI Scans
• Arteriogram : dilakukan bila ada kerusakan vaskuler.
• CCT kalau banyak kerusakan otot

Penatalaksanaan (emedicine,2011)
Prinsip penanganan fraktur rahang pada langkah awal penanganan pada hal yang bersifat kedaruratan seperti jalan nafas (airway), pernafasan (breathing), sirkulasi darah termasuk penanganan syok (circulaation), penaganana luka jaringan lunak dan imobilisasi sementara serta evaluasi terhadap kemungkinan cedera otak. Tahap kedua adalah penanganan fraktur secara definitif yaitu reduksi/reposisi fragmen fraktur fiksasi fragmen fraktur dan imobilisasi, sehingga fragmen tulang yang telah dikembalikan tidak bergerak sampai fase penyambungan dan penyembuhan tulang selesai.
Secara khusus penanganan fraktur tulang rahang dan tulang pada wajah (maksilofasial) mulai diperkenalkan olah hipocrates (460-375 SM) dengan menggunakan panduan oklusi (hubungan yang ideal antara gigi bawah dan gigi-gigi rahang atas), sebagai dasar pemikiran dan diagnosis fraktur rahang. Pada perkembangan selanjutnya oleh para klinisi berat menggunakan oklusi sebagai konsep dasar penanganan fraktur rahang dan tulang wajah (maksilofasial) terutama dalam diagnostik dan penatalaksanaannya. Hal ini diikuti dengan perkembangan teknik fiksasi mulai dari penggunaan pengikat kepala (head bandages), pengikat rahang atas dan bawah dengan kawat (intermaxilari fixation), serta fiksasi dan imobilisasi fragmen fraktur dengan menggunakan plat tulang (plate and screw).

Gambar imobilisasi fraktur mandibula secara interdental :
1. Menggunakan kawat
Menggunakan kawat : kawat dibuat seperti mata (gb 1+2), kemudian mata tadi dipasang disekitar dua buah gigi atau geraham dirahang atas ataupun bawah (gb3+4). Rahang bawah yang patah difiksasi pada rahang atas melalui mata di kawat atas dan bawah (gb 5), hasil akhirnya adalah (gb 6). Jika perlu ikatan kawat ini dipasang di berbagai tempat untuk memperoleh fiksasi yang kuat.


2. Imobilisasi fraktur mandibula dengan batang lengkung karet
Menggunakan batang lengkung dan karet : batang lengkung (gb 1+2), batang dipasang pada gigi maxilla dan juga pada semua gigi mandibula yang patah (gb 3). Mandibula ditambatkan seluruhnya pada maxilla dengan karet pada kait di batang lengkungan atas dan bawah (gb 4).
Gambar fiksasi dan imobilisasi fragmen fraktur dengan menggunakan plat (plate and screw) tulang (open reduction)
Gambar diatas adalah penanganan dari fraktur mandibula dengan pemasangan plat pada batas inferior garis fraktur, pemasangan plat ini bertujuan untuk memberi tahanan pada daerah fraktur, sehingga dapat menyatukan bagian fraktur dengan alveolus superior. Setelah plat tepasang, maka tidak dibutuhkan lagi fiksasi maksila. Dengan catatan pemasangan screw pada plat tidak dengan penekanan yang terlalu kuat. Karena dengan pemasangan screw yang terlalu kuat akan mengkibatkan terjadinya kesulitan pada saat pelepasan, oleh karena itu, pemasangan dengan tekhnik yang tidak terlalu menekan lebih di pilih dalam pemasangan plat pada fraktur mandibula.
Gambar diatas adalah penanganan fraktur mandibula jika terjadi pada darerah sudut mandibula, gigi geraham ke tiga dihilangkan sebagai jalan dari penanganan open reduction ini. Plat untuk fiksasi yang berukuran lebih kecil dipasang pertama kali dengan menggunakan monocortical screw. Plat yang lebih panjang diletakkan di bawah plat pertama dengan tekhnik yang tidak terlalu menekan. Setelah pemasangan kedua plat, fiksasi dapat dikatakan sudah stabil, tanpa harus melakukan fiksasi intermaksila.
Prosedur penanganan fraktur mandibula :
1. Fraktur yang tidak ter-displace dapat ditangani dengan jalan reduksi tertutup dan fiksasi intermaxilla. Namun pada prakteknya, reduksi terbuka lebih disukai paada kebanyakan fraktur.
2. Fraktur dikembalikan ke posisi yang sebenarnya dengan jalan reduksi tertutup dan arch bar dipasang ke mandibula dan maxilla.
3. Kawat dapat dipasang pada gigi di kedua sisi fraktur untuk menyatukan fraktur
4. Fraktur yang hanya ditangani dengan jalan reduksi tertutup dipertahankan selama 4-6 minggu dalam posisi fraktur intermaxilla.
5. Kepada pasien dapat tidak dilakukan fiksasi intermaxilla apabila dilakukan reduksi terbuka, kemudian dipasangkan plat and screw.
Oleh sebab itu ilmu oklusi merupakan dasar yang penting bagi seorang Spesialis Bedah Mulut dan Maksilofasial dalam penatalaksanan kasus patah rahang atau fraktur maksilofasial. Dengan prinsip ini diharapkan penyembuhan atau penyambungan fragmen fraktur dapat kembali ke hubungan awal yang normal dan telah beradaptasi dengan jaringan lunak termasuk otot dan pembuluh saraf disekitar rahang dan wajah.
Patah rahang dan tulang wajah yang tidak ditangani dengan baik akan memberikan gangguan dan keluhan pada pasien dalam jangka pendek dan jangka panjang. Komplikasi yang dapat terjadi pada kasus patah rahang yang adalah infeksi pada jaringan lunak dan tulang rahang. Infeksi tersebut dapat menyebabkan kehilangan jaringan lunak dan keras yang banyak. Komplikasi lain, jika penyambungan tidak adekuat (malunion)dan oklusi rahang atas dan bawah tidak tercapai maka akan memberi keluhan berupa rasa sakit dan tidak nyaman (discomfort) yang berkepanjangan pada sendi rahang (Temporomandibular joint) oleh karena perubahan posisi dan ketidakstabilan antara sendi rahang kiri dan kanan.
Hal ini tidak hanya berdampak pada sendi tetapi otot-otot pengunyahan dan otot sekitar wajah juga dapat memberikan respon nyeri (myofascial pain) Terlebih jika pasien mengkompensasikan atau memaksakan mengunyah dalam hubungan oklusi yang tidak normal. Kondisi inilah yang banyak dikeluhkan oleh pasien patah rahang yang tidak dilakukan perbaikan atau penangnanan secara adekuat. Komplikasi setelah pembedahan yang dapat terjadi pada semua operasi penyambungan tulang adalah terlambatnya penyambungan dan penyembuhan tulang (delayed union) atau kegagalan penyambungan tulang (nonunion)yang sering disebabkan tidak stabilnya fragmen fraktur karena immobilisasi yang kurang baik. Komplikasi yang secara klinis dan estetik nampak adalah perubahan bentuk dan proporsi wajah.
- Penatalaksanaan pada fraktur mandibula mengikuti standar penatalaksanaan fraktur pada umumnya. Pertama periksalah A(airway), B(Breathing) dan C(circulation). Bila pada ketiga topik ini tidak ditemukan kelainan pada pasien, lakukan penanganan terhadap fraktur mandibula pasien. Bila pada pasien terdapat perdarahan aktif, hentikanlah dulu perdarahannya. Bila pasien mengeluh nyeri maka dapat diberi analgetik untuk membantu menghilangkan nyeri. Setelah itu cobalah ketahui mekanisme cedera dan jenis fraktur pada pasien berdasarkan klasifikasi oleh Dingman dan Natvig.
Bila fraktur pada pasien adalah fraktur tertutup dan tidak disertai adanya dislokasi atau ada dislokasi kondilus yang minimal, maka dapat ditangani dengan pemberian analgetik, diet cair dan pengawasan ketat. Pasien dengan fraktur prosesus koronoid dapat ditangani dengan cara yang sama. Pada pasien ini juga perlu diberikan latihan mandibula untuk mencegah terjadinya trismus.
Kunci utama untuk penanganan fraktur mandibula adalah reduksi dan stabilisasi. Pada pasien dengan fraktur stabil cukup dengan melakukan wiring untuk menyatukan gigi atas dan bawah. Untuk metode ini dapat dilakukan berbagai tindakan. Yang paling banyak dilakukan adalah dengan menggunakan wire dengan Ivy loops dan dilakukan MMF (maxillomandibular fixation)

Komplikasi (emedicine,2011)
- Komplikasi setelah dilakukannya perbaikan pada fraktur mandibula umumnya jarang terjadi. Komplikasi yang paling umum terjadi pada fraktur mandibula adalah infeksi atau osteomyelitis, yang nantinya dapat menyebabkan berbagai kemungkinan komplikasi lainnya.
Tulang mandibula merupakan daerah yang paling sering mengalami gangguan penyembuhan fraktur baik itu malunion ataupun non-union. Ada beberapa faktor risiko yang secara spesifik berhubungan dengan fraktur mandibula dan berpotensi untuk menimbulkan terjadinya malunion ataupun non-union. Faktor risiko yang paling besar adalah infeksi, kemudian aposisi yang kurang baik, kurangnya imobilisasi segmen fraktur, adanya benda asing, tarikan otot yang tidak menguntungkan pada segmen fraktur. Malunion yang berat pada mandibula akan mengakibatkan asimetri wajah dan dapat juga disertai gangguan fungsi. Kelainan-kelainan ini dapat diperbaiki dengan melakukan perencanaan osteotomi secara tepat untuk merekonstruksi bentuk lengkung mandibula.
Faktor – faktor lain yang dapat mempengaruhi kemungkinan terjadinya komplikasi antara lain sepsis oral, adanya gigi pada garis fraktur, penyalahgunaan alkohol dan penyakit kronis, waktu mendapatkan perawatan yang lama, kurang patuhnya pasien dan adanya dislokasi segmen fraktur.
- Adapun komplikasi yang dapat terjadi yaitu :
1. Komplikasi yang timbul selama perawatan
- Infeksi
- Kerusakan saraf
- Gigi yang berpindah tempat
- Komplikasi pada daerah ginggival dan periodontal
- Reaksi terhadap obat
2. Komplikasi lanjut
- Malunion
- Union yang tertunda
- Nonunion

Kamis, 24 Maret 2011

KISTA DENTIGEROUS DAN PENATALAKSANAANYA

LAPORAN HASIL SGD
BLOK 18 LBM 2
“ KISTA ODONTOGENIK DAN PENANGANANNYA “
Skenario :
Seorang pasien laki-laki berumur 25 tahun datang berobat ke RSGMP dengan keluhan bentuk wajah asimetri sudang berkangsung 1 tahun, tidak sakit dan tidak menganggu aktifitas. Sudah berobat ke dokter gigi puskesmas 3 kali tapi tidak sembuh. Pada pemeriksaan klinis :
EO : asimetri wajah +, palpasi tidak sakit, warna kulit sama dengan sekitarnya, ping pong phenomena +, kelenjar Limfe submandibular t.a.k
IO : lipatan mukobukal terangkat, palpasi – ( tidak sakit ), fluktuasi +, ping pong phenomena +, tampak gigi 35 tidak tumbuh
Akhirnya oleh dokter gigi Puskesmas dirujuk untuk dilakukan foto rontgen, namun dokter gigi tersebut bingung menentukan jenis foto rontgen yang sesuai.
STEP 1
1. Ping pong phenomena : pada saat palpasi , jika benjolan bergerak . benjolannya yang disebut dengan ping pong phenomena ; pada saat palpasi , suatu massa yang menonjol itu ikut bergerak semua
2. Kista : suatu rongga dalam jaringan yang abnormal yang dibatasi oleh epitel dan cairannya mengandung kolesterin ; suatu rongga patologis yang berisi cairan yang seringkali dibatasi oleh lapisan epitel dan diluarnya dibatasi oleh jaringan ikat dan pembuluh darah
STEP 2
1. Kista odontogenik dan penanganannya
2. Penatalaksanaan kista odontogenik
STEP 3
KISTA ODONTOGENIK
1. Definisi
- Kista yang berasal dari epitel pembentukan gigi ( epitelnya berasal dari : benih gigi , epitel enamel mahkota gigi, epitel malassez, sisa dental lamina )
- Kista yang berasal dari sisa epitel pembentukan gigi yang mengandung cairan , gas , material semi solid
2. Klasifikasi ( etio , tanda gejala , patogenesis , pemeriksaan , penatalaksanaannya )
a. Odontogenik
- Primordial : terjadi karena adanya perubahan kistik ( ada pembentukan kista ) pada bagian dental lamina sebelum terbentuk jaringan keras ; paling sering pada RB posterior
- Dentigerous : terjadi pada mahkota yang belum erupsi ; terbentuk saat gigi telah mengalami kalsifikasi
Macam :
• Perikoronal
• Lateral
• sirkumferensial
- Periodontal : biasanya sering ditemukan di apical
b. Non odontogenik
Nasopalatinal canal kista : letaknya di canal nasopalatinal , jaringan lunak,
: etio ( proliferasi dari sisa” epitel karena adanya infeksi bakteri atau trauma )
Nasoalveolar kista : kista fisural dari jairngan lunak yang terletak di IO dari bagian caninus s/d I lateral smpai bibir atas.
: etio ( sisa” epitel yang terjebak selama penggabungan embrionik dari pross nasal lateral , globular dan maksila
Simple bone kista
Bladin-nuh kista : kelenjur liur tambahan pd permukaan ventral lidah dan terdiri atas campuran elemen selulosa dan mukus

 Kista odontogenik
 Kista gingiva pada anak”
Dentigerous
Kista erupsi
Kista peridontal lateral
Kista botroid odontogenik
Kista odontogenik glandula
Kista gingiva pada dewasa
Kista primordial
 Menurut WHO berdasarkan asalnya :
Kista developmental ( yg tidak diketahui sebabnya )
Macamnya :
• kista gingiva pada dewasa
• dentigerous
 terjadi disekitar mahkota gigi yang tidak erupsi ( gigi M )
 biasanya tidak menimbulkan rasa sakit tetapi menyebabkan asimetris muka
 infeksinya melalu jalur hematogen
 perawatan : enukleasi ( gigi yang tidak erupsi , kistanya dan epietlnya diambil ; biasanya kistanya masih utuh)
: marsupialisasi ( mengevakuasi isi kista dan memelihara kontinuitas antara kista dan RM, sinus maksilaris dan rongga nasal )
 Pada anak biasanya terjadi di I 11% dan 30% di C , dan pada dewasa terjadi di gigi M1
 Pada laki : 30 thn , wanita : 10 – 20 thn ; banyak melibatkan M3 baik RA dan RB
 Pembengkakaknnya terjadi perlahan , klo nyeri biasanya terjadi infeksi
 Gbran radiografinya : daerah radiolusen unilokular yang berhubungan dengan mahkota gigi yang tidak erupsi ; kista mempunyai tepi sklerotik yang berbatas tegas jika tidak terjadi infeksi
 Komplikasi perawatan :
 Type : central ( mahkota terbungkus simetris ) , lateral ( dibatasi folikel pada salah satu mahkota ) , sirkumferensial ( dari mahkota sampai akarnya dibungkus kista )
 DD : ameloblastik fibroma , dan odontogenik keratosis

• Kista Erupsi
 Merupakan kista superfisial yang terjadi pada jaringan gingiva, berhubungan dengan gigi yang sedang erupsi terutama gigi molar sulung
 Tanda dan gejala : tidak ada rasa sakit kecuali bila terinfeksi , gusi membengkak, dapat ditemukan rasa sakit bila ditemukan gigi lawannya, tampak sebagai pembengkakan gusi yang bewarna biru, biasanya terjadi pembengkakan lunak dan fluktuasi
 Pemeriksaan Ro : dipastikan gigi yang tidak erupsi dan disertai folikel yang besar
• Kista odontogenik keratosis
 Etiologi : perkembangan dari sisa” dental lamina yang mengalami proliferasi dan berhubungan dengan lifoid basal sel karsinoma
 GK : dapat terjadi di maksila dan mandibula
• gingiva pada bayi
• lateral periodontal kista
 terbentuk dari proliferasi dental lamina
 GK : tampak pembengkakakn kecil di dalam atau dibawah papila interdental ; diamter < 1 cm ; mayoritas terjadi pada orang dewasa ; terjadi pada cusp P dan C RA atau RB
• calsifying odontogenic cyst
 etio : sebuah kista odontogenik dengan karakteristik pola mikroskopik ; adanya sisa epitel odontogenik di dalam gusi RA dan RB
 Karakteristik adanya ghost cell keratinization ( gambaran PA nya ) ; biasanya menyerang orang berusia < 40 thn baik pria dan wanita
 Gamb Ro : unilokuler atau multilokuler ; batasnya tegas ; menyebar
 DD : osifying fibroma
 Perawatan : enukleasi
• kista glandular odontogenik
Kista inflammatory ( dri peradangan )
• kista periapikal
 = kista radikular
 Kista yang berhubungan karena adanya gigi yang non vital / fragmen akar gigi yang disebabkan karena adanya keberadaan nekrosis yg diawali dengan invasi bakteri
 Penanganannya : kalo diameternya 1 cm -> enukleasi dg pembukaan tulang alveolar ; apabila diameternya besar dan terjadi kekambuhan biasanya dilakukan kontrol infeksi , marsupialisasi , bisa dengan ekstralisasi dan diselingi dengan biopsi, setelah itu kalo sudah terjad pengurangan diameter baru dilakukan enukleasi agar tidak terjadi kerusakan jar sekitarnya ; apabila terjadi kerusakan pd tulang -> dilakukan rekonstruksi pd tulang
• bukal bifurcatio kista
• residual kista

PERTANYAAN SKENARIO
1. Jenis rontgen dan gambaran radiologis kista
a. Jenis rontgen secara umum
 Panoramik
 Periapical
b. Jenis rontgen untuk melihat kista
 Panoramik
c. Gambaran Ro kista
- Berbatas tegas
- Tepi skelrotik jika ada infeksi
2. Pasien sudah berobat sampai 3x tetapi tidak sembuh . why ?
 Karena tidak dilakukan enukleasi dan marsupialisasi
 Penyebabnya tidak dihilangkan
 Dx belum tepat
3. Kenapakah bisa ada ping pong phenomena ?
LI
4. Dalam skenario termasuk jenis odontogenik apa ?
 Kista dentigerous ( soalnya dari gigi 35 tidak tumbuh )
 Dari usia pasien
5. Dx dan DD nya ?
DD : ameoblastoma ( tumor jinak ) ; odontogenic keratocyst
6. Sejak kapan bisa timbul ping pong phenomena ?
LI
7. Apakah kista odontogenik selalu diikutin / ciri khas dengan ping pong phenomena ?
LI
8. Gigi 35 tidak tumbuh , why ? adakah pengaruhnya dengan kista odontogenik ?
Ada pengaruhnya , karena ....... ??? LI
9. Pasien sudah mengalami asimetris tetapi pasien tidak merasakan sakit , berbeda dengan kasus impaksi. Why ?
 Karena tidak ada infeksi
 Pembengkakan terjadi secara perlahan sehingga tidak merasakan sakit
10. Mengapa ada fluktuasi + dan ping pong phenomena + ?
 LI
STEP 4
CONCEPT MAPPING
STEP 5
LI SEMUA
STEP 6
BELAJAR MANDIRI
STEP 7
KISTA ODONTOGENIK
1. Definisi
- Kista odontogenik adalah kista yang berasal dari sisa-sisa epithelium pembentuk gigi (epithelium odontogenik). Kista odontogenik disubklasifikasikan menjadi kista yang berasal dari developmental dan inflammatory. Kista developmental adalah kista yang tidak diketahui penyebabnya, dan tidak terlihat sebagai hasil dari reaksi inflamasi. Sedangkan inflammatory merupakan kista yang terjadi karena adanya inflanmasi.
- Kista odontogenik didefinisikan sebagai suatu struktur dengan garis epitelial yang diperoleh dari epitel odontogenik. Kebanyakan kista odontogenik didefinisikan lebih berdasarkan pada lokasinya dibandingkan pada karakteristik histologinya. Maka, ahli bedah harus memberikan kepada ahli patologis suatu riwayat dan gambaran radiograf yang tepat ketika mengajukan contoh specimen untuk diuji.
- Kista odontogenik (kista yang terletak pada tulang rahang kemungkinan epitelnya berasal dari epitel odontogenik dan disebabkan adanya proliferasi dan degenerasi kistik)
Kista nonodontogenik (berasal dari sisa epitel jaringan yang meliputi prosessus yang primitif, yang terlibat dalam pembentukan muka dan rahang masa embrional).
- suatu kista rahang tipe perkembangan yang jarang dijumpai dan berasal dari odontogenik. Kista odontogenik glandular memiliki gambaran histopatologis yang mirip dengan botryoid odontogenic cyst (BOC) dan central mucoepidermoid tumor (MET) sehingga mudah terjadi salah diagnosa. Etiologi kista odontogenik glandular adalah berasal dari perkembangan gigi geligi khususnya dari sisa-sisa epitel lamina dentalis. Gambaran klinis kista ini adalah berupa pembengkakan, lebih banyak mengenai pria dan sering menyerang mandibula khususnya bagian anterior. Lesi tersebut biasanya terlokalisir dan dapat unilateral atau bilateral. Gambaran histopatologis kista odontogenik glandular harus menunjukkan adanya sel-sel kuboid eosinofilik dalam lapisan superfisial dan sel-sel mukus. Gambaran radiografi kista odontogenik glandular menunjukkan gambaran radiolusen yang unilokuler atau multilokuler. Perawatan kista odontogenik glandular adalah dengan kuretase, enukleasi dan reseksi rahang.
- Kista odontogenik adalah kista yang berhubungan dengan gigi dan jaringan pembentuk gigi. Kista odontogenik dibagi menjadi 2 divisi besar:
Kista perkembangan (kista yg belum diketahui asal mula penyebabnya ) terbagi lagi menjadi 9 sub divisi
Kista peradangan ( kista yg terjadi akibat dari gigi yg meradang ) terbagi menjadi 3 sub divisi
Kista dentigerous adalah salah satu sub divisi dari kista perkembangan. Biasanya kista ini terjadi disekitar mahkota gigi yang tidak erupsi. Paling banyak terjadi pada gigi geraham bungsu bawah ( geraham ketiga bawah ) yg tidak erupsi pada usia 10-30 tahun. Sangat jarang terjadi pada gigi susu yang tidak tumbuh. Kista dentigerous biasanya tidak menimbulkan rasa sakit, jika kista ini besar maka akan menimbulkan asimetri muka.
Perawatan kista dentigerus:
Kista dentigerus yang kecil ditangani dengan enukleasi yg juga dilakukan dengan membuang gigi yang tidak erupsi tersebut.
Kista dentigerus yang besar membutuhkan tindakan marsupialisasi. Tindakan ini merupakan prosedur awal sebelum dilakukannya tindakan bedah untuk mengurangi besarnya kista sehingga kerusakan tulang akibat tertekan kista bertambah kecil. Setelah itu kista dapat dibuang dengan tindakan bedah yg minimal.
Komplikasi yang dapat terjadi pada tindakan marsupialisasi maupun enukleasi adalah perdarahan, parestesi maupun fraktur, namun prognosa setelah dilakukannya kedua tindakan adalah baik.

2. Etiologi kista odontogenik
Ada tiga macam sisa jaringan yang masing-masing berperan sebagai asal kista odontogenik.
c. The epithelial rest or glands of Serres yang tersisa setelah terputusnya dental lamina. Odontogenik keratosis dapat berasal dari jarinagn ini, dan beberapa kista lain seperti kista gingival.
d. Email epithelium tereduksi yang berasal dari organ email dan selubung gigi yang belum erupsi namun telah terbentuk sempurna. Kista dentigerous dan kista erupsi berasal dari jaringan ini.
e. The rests of Malassez yang terbentuk melalui fragmentasi dari epithelium root selubung Hertwig.

3. Pathogenesis Kista
1. Inisiasi kista
Inisiasi kista mengakibatkan proliferasi batas epithelia dan pembentukan suatu kavitas kecil. Inisiasi pembentukan kista umumnya berasal dari epithelium odontogenic. Bagaimanapun rangsangan yang mengawali proses ini tidak diketahui. Faktor-faktor yang terlibat dalam pembentukan suatu kista adalah proliferasi epithelia, akumulasi cairan dalam kavitas kista dan resorpsi tulang.
2. Pembesaran kista
Proses ini umumnya sama pada setiap jenis kista yang memiliki batas epithelium. Tahap pembesaran kista meliputi peningkatan volume kandungan kista, peningkatan area permukaan kantung kista, pergeseran jaringan lunak disekitar kista dan resorpsi tulang.
a. Peningkatan volume kandungan kista
Infeksi pada pulpa non-vital merangsang sisa sel malasez pada membran periodontal periapikal untuk berproliferasi dan membentuk suatu jalur menutup melengkung pada tepi granuloma periapikal, yang pada akhirnya membentuk suatu lapisan yang menutupi foramen apikal dan diisi oleh jaringan granulasi dan sel infiltrasi melebur.
Sel-sel berproliferasi dalam lapisan dari permukaan vaskular jaringan penghubung sehingga membentuk suatu kapsul kista. Setiap sel menyebar dari membran dasar dengan percabangan lapisan basal sehingga kista dapat membesar di dalam lingkungan tulang yang padat dengan mengeluarkan faktor-faktor untuk meresorpsi tulang dari kapsul yang menstimulasi pembentukan osteoclast.
b. Proliferasi epitel
Pembentukan dinding dalam membentuk proliferasi epitel adalah salah satu dari proses penting peningkatan permukaan area kapsul dengan akumulasi kandungan seluler. Pola mulrisentrik pertumbuhan kista membawa proliferasi sel-sel epitel sebagai keratosis mengakibatkan ekspansi kista. Aktifitas kolagenase meningkatkan kolagenalisis. Pertumbuhan tidak mengurangi batas epitel akibat meningkatnya mitosis. Adanya infeksi merangsang sel-sel seperti sisa sel malasez untuk berploriferasi dan membentuk jalur penutup. Jumlah lapisan epitel ditentukan oleh periode viabilitas tiap sel dan tingkat maturasi serta deskuamasinya.
c. Resorpsi tulang
Seperti percabangan sel-sel epitel, kista mampu untuk membesar di dalam kavitas tulang yang padat dengan mengeluarkan fakor resorpsi tulang dari kapsul yang merangsang fungsi osteoklas (PGE2). Perbedaan ukuran kista dihasilkan dari kuantitas pengeluaran prostaglandin dan faktor-faktor lain yang meresorpsi tulang.
4. Klasifikasi ( etio , tanda gejala , patogenesis , pemeriksaan , penatalaksanaannya )
I. Odontogenik
A. Developmental
a. Dental lamina cyst (gingival cyst of infant)
- Sebuah kista gingiva adalah kista yang berkembang pada gusi orang 'mulut. In adults, periodontal disease can cause a gingival pocket to grow and this can often form a cyst. Pada orang dewasa, penyakit periodontal dapat menyebabkan saku gingiva untuk tumbuh dan ini sering dapat membentuk kista. They can even be the result of viral infections. Mereka bahkan bisa menjadi hasil dari infeksi virus. Cysts can even form in newborn babies. Kista bahkan dapat terbentuk pada bayi baru lahir. They're usually painless but often frustrating because of the swelling. Mereka biasanya tidak menimbulkan rasa sakit tetapi sering frustasi karena pembengkakan.
- A gingival cyst in a newborn baby, also called dental lamina cyst in infants, can present as small diameter cysts on the gums varying in color from white to yellow. Sebuah kista gingiva pada bayi baru lahir, juga disebut kista lamina gigi pada bayi, dapat hadir sebagai kista diameter kecil pada gusi bervariasi dalam warna dari putih menjadi kuning. They are not harmful and these cysts usually break open by themselves. Mereka tidak berbahaya dan kista ini biasanya membuka sendiri. This can happen a few days after birth or in some cases, several months later. Oral surgery can be done to open the cysts but this generally proves unnecessary. Hal ini dapat terjadi beberapa hari setelah kelahiran atau dalam beberapa kasus, beberapa bulan kemudian. oral operasi bisa dilakukan untuk membuka kista tapi ini secara umum tidak perlu membuktikan.
- A gingival cyst in an adult is quite a different thing. Sebuah kista gingiva pada orang dewasa cukup hal yang berbeda. These cysts are rare so there have been only a limited number of studies. Kista ini jarang terjadi sehingga hanya ada sejumlah studi. They tend to occur in the area of the premolars and canines and often have a bluish color. Mereka cenderung terjadi di daerah premolar dan gigi taring dan sering memiliki warna kebiru-biruan. They tend not to grow over 1 cm in diameter and can be removed surgically. Mereka cenderung tidak tumbuh lebih dari 1 cm dan dapat diangkat melalui pembedahan. Once they're removed, they generally show no tendency to reoccur. Setelah mereka akan dihapus, mereka umumnya tidak menunjukkan kecenderungan untuk terulang kembali

b. Odontogenic cyst (primordial cyst)
- Gambaran klinis
• Terkadang terbentuk disekitar gigi yang tidak erupsi
• Biasanya asymtomatik walaupun terdapat pembengkakan ringan
• Nyeri bisa terjadi dengan infeksi sekunder
• Aspirasi menunjukkan suatu material tebal, kuning dan cheesy material (keratin)
• Kista ini cenderung berulang
- Gambaran RO
• Lokasi
 Badan posterior mandibula dan ramus mandibula
 Epicenter terdapat pada superior hingga inferior alveolar nerve canal
• Batas luar dan bentuk
Menunjukkan tepi kortical seperti kista-kista lainnya kecuali jika terjadi infeksi sekunder, smooth round atau berbentuk oval atau scalloped outline.
• Struktur internal
 Radiolusen, adanya keratin internal tidak meningkatkan radioopasitas.
 Pada beberapa kasus dapat menunjukkan septa internal berkurang, memberikan gambaran lesi multilocular.
c. Dentigerous cyst (follicular cyst)

Kista odontogenik paling sering kedua adalah kista dentigerous, yang berkembang dalam folikel dental yang normal dan mengelilingi gigi yang tidak erupsi. Kista dentigerous diperkirakan tidak menjadi neoplastik. Lebih sering ditemukan dalam daerah dimana terdapat gigi yang tidak erupsi, yaitu gigi molar ketiga rahang bawah, molar ketiga rahang atas dan kaninus rahang atas dengan penurunan frekuensi mulai dari molar ketiga rahang bawah hingga kaninus rahang atas. Kista ini dapat tumbuh sangat besar dan dapat menggerakkan gigi, tetapi, lebih umumnya, kista ini relatif kecil. Kebanyakan kista dentigerus tidak memberikan gejala, dan penemuannya biasanya meerupakan suatu temuan insidental pada gambaran radiografi.
Penampakan radiografi biasanya adalah suatu lesi radiolusen yang terdermakasi dengan baik menyerang pada sudut akut dari daerah serfikal suatu gigi yang tidak erupsi. Tepi lesi dapat radiopak. Perbedaan gambaran radiografi antara kista dentigerous dan folikel dental normal selalu didasarkan pada ukurannya.
Bagaimanapun, secara histologi, suatu perbedaan selain dari ukurannya telah ditemukan. Folikel gigi secara normal dibatasi oleh berkurangya epitel enamel, jika kista dentigerous dibatasi oleh suatu epitelium skuamos stratified tidak terkeratinisasi. Kalsifikasi distropik dan suatu kelompok sel mukous dapat ditemukan dalam kista.
Kista dentigerous berkembang dari epitel folikular dan epitelium folikular memiliki suatu potensi yang besar untuk bertumbuh, berdiferensiasi dan berdegenerasi dibandingkan dengan epitrlium dari kista radikuler. Kadangkala, lesi yang lebih merugikan lainnya muncul dalam dinding kista dentigerous, termasuk karsinoma epidermoid yang muncul dari sel mukosa didalam dinding kista, ameloblastoma (lihat tumor odontogenik; 17% ameloblastoma muncul dalam sebuah kista dentigerous), dan karsinoma sel skuamous. Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, kista dentigerous juga dapat menjadi sangat besar dan dapat memberikan risiko fraktur rahang patologis kepada pasien.
Temuan ini berisikan paling banyak alasan medis untuk pengangkatan gigi molar ketiga yang impaksi dengan radiolusensi perikoronal, bagaimanapun, gigi yang impaksi dengan radiolusensi perikoronal yang kecil (dengan kesan adanya folikel gigi yang normal dibandingkan kista dentigerous) juga dapat diamati dengan pemeriksaan radiografi secara berseri. Peningkatan ukuran lesi harus dilakukan pengangkatan dan pemeriksaan histopatologi yang tepat. Beberapa lesi yang tampak lebih besar dibandingkan folikel gigi normal mengindikasikan pengangkatan dan pemeriksaan histopatologi.

- Gambaran Klinis
• Berkembang disekitar mahkota gigi yang tidak erupsi/ gigi supernumerary
• Pemeriksaan klinis menunjukkan suatu missing, pembengkakan yang keras (hard swelling) dan biasanya mengakibatkan asimetri wajah.
• Khasnya pasien tidak merasakan nyeri dan ketidaknyamanan
- Gambaran RO
• Lokasi
Epicenter kista tepat diatas mahkota gigi yang bersangkutan, biasanya M3 maxilla atau mandibula, atau yang paling sering terjadi adalah C maxilla. Kista melekat pada CEJ. Terkadang kista berkembang dari aspek lateral follicle, menempati area disamping mahkota.
• Batas Luar dan Bentuk
Secara khas memiliki batas luar yang tegas (well-defined cortex) dengan garis berkurva atau sirkular.
• Struktur Internal
Bagian internal radiolusen secara menyeluruh kecuali mahkota gigi.
• Pengaruh pada struktur sekitar
Kista ini cenderung memindahkan (menggerakkan) dan meresorbsi gigi geligi tetangganya. Biasanya pada direksi apical. Contohnya : M3 mandibula dapat digerakkan pada region condilar atau coronoid/ hingga cortex inferior dr mandibula.

d. Eruption cyst
- Kista erupsi dapat berkembang dalam hubungan dengan gigi susu yang sedang erupsi. Rongga folikular yang normal di sekitar mahkota mengembang karena pengumpulan cairan jaringan atau darah, membentuk sejenis kista dentigerous (Shafer, Hine dan Levy, 1974 ; Shear, 1983). Kista erupsi terjadi paling sering pada permukaan oklusal yang lebar di gigi-gigi molar susu. Mula-mula terdapat daerah kebiru-biruan pada gigi yang sedang erupsi, dan kemudian terjadi kemerahan dan pembengkakan mukosa. Pembesaran kista menyebabkan tergigit oleh gigi-gigi lawannya, dan hal ini menambah rasa tidak enak pada anak.
- Merupakan kista dentigerous yang terjadi pada jaringan lunak.Tapi kista dentigerous yang terjadi biasanya pada sekeliling gigi yang erupsidanterletak di dalam jaringan lumak yang terjadi di atas tulang

Gambaran klinis
1.kista erupsi menyebabkan pembengkakan yang licin di atas gigi yang sedang erupsi,yang bisa mempunyai warna gingival yang normal,ataupun biru.
2. biasanya tanpa nyeri kecuali jika terinfeksi.
3. lunak dan berfluktuasi
4.kadang-kadang terdapat lebih dari satu kista .


Gambaran radiologi
Kista bisa membuat bayangan lunak,tetapi biasanya tidak melibatkan tulang ,kecuali kripta terbuka yang terdilatasi yang bisa terlihat pada radiograf.

Patogenesa
Patogenesa kista erupsi mungkin sangat serupa dengan kista dentigerous. Perbedaanya bahwa gigi pada kasus kista erupsi lebih terpendam di jaringan kunak gingival ketimbang di dalam tulang. Belum diketahui faktor-faktor yang sebenarnya menghalangi erupsi ke dalam jaringan lunak ini,tetapi adanya jaringan fibrosa yang sangat padat dapat bertanggung jawab.

Patologi
Pada daerah yang tidak meradang,dinding epitel kista khas berasal dari epitel enamel yang berkurang, yang terutama terdiri dari2-3 lapisan sel epitel gepeng dengan beberapa fokus, tempat ia mungkin sedikit lebih tebal.


Pengobatan
Kista erupsi diobati dengan marsupialisasi. Kubah kista di eksisi ,yang memaparkan mahkota gigi sehingga memungkinkan gigi tersebut erupsi.
e. Lateral periodontal cyst
- Kista periodontal lateral, seperti namanya, terjadi pada lokasi periodontal lateral dan itu adalah berasal dari perkembangan yang timbul dari degenerasi kistik sel yang jelas tentang lamina gigi. In order to establish the proper diagnosis, an inflammatory origin as well as exclusion of a possible odontogenic keratocyst must be ruled out clinically and histologically. Dalam rangka menegakkan diagnosa yang tepat, asal inflamasi serta pengecualian dari keratocyst odontogenik mungkin harus dikesampingkan klinis dan histologis. This cyst's most frequent location is at the level of the mandibular premolars but it has been reported occurring in other areas. kista yang paling sering Lokasi ini berada pada tingkat premolar mandibula namun telah dilaporkan terjadi di daerah lain. This cyst is generally an accidental radiographic finding and it characterized by being located mid distance between the apex and the cervical area of the affected tooth. kista ini umumnya merupakan temuan radiografi disengaja dan ditandai dengan pertengahan yang terletak jarak antara puncak dan daerah servikal dari gigi yang terkena. Radiographically, the majority of the cases are seen as a well delineated, round, small (generally not exceeding 1 cm in diameter), radiolucency with a radiopaque rim. Radiografi, sebagian besar kasus dilihat sebagai digambarkan, bulat dengan baik, kecil (umumnya tidak melebihi 1 cm diameter), radiolusensi dengan pelek radiopak. They are generally asymptomatic. Mereka umumnya tanpa gejala. The periodontal ligament space as a rule is not enlarged and there must not be a communication between the cyst's cavity and the oral environment. Ruang ligamentum periodontal sebagai sebuah aturan tidak membesar dan tidak boleh ada komunikasi antara kista's rongga dan lingkungan oral. The root of the affected tooth is intact, the pulpal tissue is not necrotic and the tooth is vital. Akar gigi yang terkena utuh, jaringan pulpa tidak nekrotik dan gigi sangat penting. A multilocular variety has been described. Berbagai multilocular telah dijelaskan.
- The cystic wall is lined by a thin layer of an odontogenic epithelium presenting clear cells and resembling the reduced enamel epithelium. Dinding kistik dibatasi oleh lapisan tipis dari sel epitel odontogenik penyajian yang jelas dan menyerupai epitel enamel berkurang. Some areas of cellular condensation have been described as epithelial plaques, which may protrude into the cystic lumen. Beberapa daerah di kondensasi selular telah digambarkan sebagai plak epitel, yang dapat menonjol ke dalam lumen kistik. A different histologic appearance has been described with the name of BOTRYOID ODONTOGENIC CYST. Sebuah penampilan histologis yang berbeda telah dijelaskan dengan nama BOTRYOID odontogenik KISTA. This name reflects the histologic similarity of the cystic cavities to that of a bunch of grapes. Nama ini mencerminkan kesamaan histologis dari rongga kistik dengan yang sekelompok anggur.
- The treatment of the lateral periodontal cyst is surgical ablation and if at all possible the affected tooth should be preserved, which some times it is difficult. Perlakuan kista periodontal lateral ablasi bedah dan jika sama sekali mempengaruhi gigi mungkin harus dipertahankan, yang beberapa kali sulit. The multilocular variety including the botryoid type require a more careful surgical elimination because of their higher tendency to recur. Berbagai multilocular termasuk jenis botryoid memerlukan operasi eliminasi lebih hati-hati karena tinggi kecenderungan mereka untuk kambuh.
-
- This a lateral periodontal cysts. Ini kista lateral periodontal. Both adjacent teeth were vital and clinically there was no communication between the cystic cavity and the oral cavity. Kedua gigi yang berdekatan adalah vital dan secara klinis tidak ada komunikasi antara rongga kistik dan rongga mulut. Histologically it was proven to be lined by a thin layer of clear odontogenic epithelial cells and epithelial plaque formation. Histologi itu terbukti dilapisi oleh lapisan tipis jelas sel epitel odontogenik dan pembentukan plak epitel. Note well delineated oval radiolucency. Catatan juga digambarkan radiolusensi oval
Nama kista periodontal lateral merupakan suatu istilah yang tidak cocok. Kista ini bukan merupakan peradangan, kista ini tidak muncul dari periodontitis dan bukan suatu fenomena yang dihubungkan dengan saluran lateral dalam struktur gigi. Kista ini selalu terdermakasi dengan baik, relatif kecil, dan radiolusen (kadang-kadang dengan akar yang radiopak). Lesi ini umumnya dihubungkan dengan daerah premolar dan molar dan kadang ditemukan pada daerah anterior rahang atas. Kista ini biasanya tidak tampak secara klinis tetapi terdeteksi pada pemeriksaan radiografi. Kista ini memiliki suatu histologi yang berbeda teriri dari dinding kista noninflamasi fibrous yang tebal, dan batas epitelium terbuat dari sel kubus yang tipis. Tepi ini tidak sempurna dan mudah terkelupas dengan gambaran penebalan sel bersih pada interval berkala. Kista ini tumbuh dari lamina gigi postfungsional dan tidak ada penjelasan yang baik diketahui untuk lokalisasi yang ditunjukkan.
Etiologi : terbentuk karena proliferasi dentalamina
Gambaran klinis : tampak pembengkakan kecil pada jaringan lunak di dalam atau di bawah papilla interdental diameter < 1cm. Mayoritas pada orang dewasa terjadi pada cuspid premolar dan caninus atas/ bawah. ( vitalnya di rahang bawah )
Gambaran radiograf : radiolusen Berbentuk bulat/ seperti tetesan airmata unilokuler dan kadang2 multilokuler.

f. Botryoid odotogenic cyst
g. Glandular odotogenic cyst
- Kista odontogenik glandula adalah salah satu lesi kista rahang yang sangat jarang dijumpai dengan karakteristik histopatologis yang unik dan tidak jelas histogenesisnya, dimana secara histopatologi, kista odontogenik glandula merupakan suatu kista dengan dindingnya dibatasi epitel non keratinisasi pada permukaannya dan dibatasi kripta atau ruangan seperti kista didalam ketebalan epitel dan mengandung elemen musin tanpa keterlibatan jaringan kelenjar ludah didalanmya. Gambaran klinis kista odontogenik pada umunmya seperti kista yang lain adalah adanya pembengkakan pada daerah yang terkena, mayoritas kista akan ditemukan setelah teljadi peradangan. Gambaran radiografi kista odontogenik glandula menunjukkan lesi radiolusen unilokuler atau multilokuler yang tergambar dengan jelas. Berdasarkan cepat lambatnya perluasan area radiokusensi lesi yang terlihat dalam pemeriksaan radiografi, kista odontogenik glandula dapat didiagnosa banding sebagai lateral periodontal cyst, botryoid odontogenic cyst, simple bone cyst, odontogenic keratocyst, ameloblastoma dan central mucoepidermoid carcinoma. Gammbaran histologi menunjukkan suatu ruang kistik yang dibatasi oleh epitel pipih berlapis non keratinisasi dengan beberapa lapisan. Di beberapa area, sel epitel tersusun dalam bentuk struktur menyerupai bola atau area melingkar Lapisan superfisial epitel menunjukkan eosinofilik dan sel kuboidal, dan beberapa sel spinus merniliki vakuolisasi dalam sitoplasmanya. Sel epitel menunjukkan banyak sel-sel mukus, dan kadang-kadang mukus PAS positif dibatasi oleh sel kuboidal eosinofilik berbentuk struktur menyerupai bola. Ruang antar epitel dan bentuk jaringan ikat fibrous adalah petak tanpa rete peg. Kapsul fibrous jarang diinfiltrasi oleh sel inflamasi mononuklear. Dalam perawatan kista odontogenik glandula, pada dasarnya digunakan teknik bedah dengan metoda enukleasi.
- Kista odontogenik glandula adalah salah satu lesi kista rahang yang sangat jarang dijumpai dengan karakteristik histopatologis yang unik dan tidak jelas histogenesisnya, dimana secara histopatologi, kista odontogenik glandula merupakan suatu kista dengan dindingnya dibatasi epitel non keratinisasi pada permukaannya dan dibatasi kripta atau ruangan seperti kista didalam ketebalan epitel dan mengandung elemen musin tanpa keterlibatan jaringan kelenjar ludah didalanmya. Gambaran klinis kista odontogenik pada umunmya seperti kista yang lain adalah adanya pembengkakan pada daerah yang terkena, mayoritas kista akan ditemukan setelah teljadi peradangan. Gambaran radiografi kista odontogenik glandula menunjukkan lesi radiolusen unilokuler atau multilokuler yang tergambar dengan jelas. Berdasarkan cepat lambatnya perluasan area radiokusensi lesi yang terlihat dalam pemeriksaan radiografi, kista odontogenik glandula dapat didiagnosa banding sebagai lateral periodontal cyst, botryoid odontogenic cyst, simple bone cyst, odontogenic keratocyst, ameloblastoma dan central mucoepidermoid carcinoma. Gammbaran histologi menunjukkan suatu ruang kistik yang dibatasi oleh epitel pipih berlapis non keratinisasi dengan beberapa lapisan. Di beberapa area, sel epitel tersusun dalam bentuk struktur menyerupai bola atau area melingkar Lapisan superfisial epitel menunjukkan eosinofilik dan sel kuboidal, dan beberapa sel spinus merniliki vakuolisasi dalam sitoplasmanya. Sel epitel menunjukkan banyak sel-sel mukus, dan kadang-kadang mukus PAS positif dibatasi oleh sel kuboidal eosinofilik berbentuk struktur menyerupai bola. Ruang antar epitel dan bentuk jaringan ikat fibrous adalah petak tanpa rete peg. Kapsul fibrous jarang diinfiltrasi oleh sel inflamasi mononuklear. Dalam perawatan kista odontogenik glandula, pada dasarnya digunakan teknik bedah dengan metoda enukleasi.
h. Gingival cyst of adults
- Gingiva kista orang dewasa
The gingival cyst of the adult is thought to derive from epithelial rests of the dental lamina and some authors considered it to be a superficial version of the lateral periodontal cyst. Kista gingiva dewasa diperkirakan berasal dari epitel terletak dari lamina gigi dan beberapa penulis menganggapnya sebagai versi dangkal kista periodontal lateral. This latter cyst, which generally has an intraosseous location, develops often in the premolar-canine area of the mandible and it is directly connected to the periodontium. Kista ini yang terakhir, yang umumnya memiliki lokasi intraosseous, berkembang sering di daerah-anjing premolar mandibula dan terhubung langsung ke periodonsium tersebut. The gingival cyst of the adult generally develops in the mandibular premolar-canine area. Kista gingiva dewasa umumnya berkembang di daerah-anjing premolar mandibula. If in the maxilla it develops with greater frequency in the lateral incisor area. Jika di rahang itu berkembang dengan frekuensi yang lebih besar di daerah gigi seri lateral. In some cases it may slightly reabsorb the alveolar crest. Dalam beberapa kasus mungkin sedikit menyerap kembali puncak alveolar. The gingival cyst of the adult is a slow growing lesion which as a rule does not measure more than one centimeter in diameter. Kista gingiva dewasa adalah lesi yang tumbuh lambat sebagai sebuah aturan tidak mengukur lebih dari satu sentimeter diameter. The cyst may even develop in the interdental papilla and in either location is a painless swelling presenting the normal gingival color, however, some of them may have a slight bluish color. Kista bahkan dapat berkembang di papilla interdental dan di lokasi baik adalah rasa sakit pembengkakan penyajian warna gingiva normal, namun, beberapa dari mereka mungkin memiliki warna yang sedikit kebiruan. Statistical studies are scant because this cyst is of rare occurrence, generally it is reported as having an equal sex distribution and observed in patients over 40 years of age. studi statistik adalah kurang karena kista ini adalah kejadian langka, umumnya dilaporkan sebagai memiliki distribusi seks sama dan diamati pada pasien lebih dari 40 tahun. The gingival cyst of the adult should be differentiated from the odontogenic keratocyst and the epidermoid cyst which occasionally develop in the same areas. Kista gingiva orang dewasa harus dibedakan dari keratocyst odontogenik dan kista epidermoid yang sering berkembang di daerah yang sama. The differentiation and final diagnosis is established microscopically. Diagnosis diferensiasi dan terakhir didirikan mikroskopis. The gingival cyst of the adult is mostly lined by an odontogenic epithelium which resembles the reduced enamel epithelium and is formed by a few rows of cells. Kista gingiva dewasa sebagian besar dilapisi oleh epitel odontogenik yang menyerupai epitel enamel berkurang dan dibentuk oleh beberapa baris sel. The clinical differential diagnosis should also include mucocele and abscesses of periodontal origin. Diferensial diagnosis klinis juga harus mencakup mucocele dan asal abses periodontal. The treatment is surgical ablation and there is no tendency to recur. Pengobatan ini ablasi bedah dan tidak ada kecenderungan untuk kambuh.



Figure 3. Gambar 3. The arrows point to a rounded gingival blister-like lesion which upon biopsy was shown to be a gingival cyst of the adult. Panah menunjukkan seperti lesi gingiva melepuh-bulat yang ditunjukkan pada biopsi menjadi kista gingiva dewasa. Figure 4. Gambar 4. This radiograph is from another adult patient with a gingival cyst. radiograf ini berasal dari pasien lain dewasa dengan kista gingiva. Note the bone depression produced by the cyst. Perhatikan tulang depresi diproduksi oleh kista. In this case the differential diagnosis should include the lateral periodontal cyst. Dalam hal ini diagnosis diferensial harus mencakup kista periodontal lateral.

i. Calcifying odontogenic cyst
Gambaran radiograf : unilokuler atau multilokuler radiolusen terpisah batasnya tegas menyebar bentuknya irreguler
Etiologi : karena ada sisa epitel odontogenik di dalam gusi maksila dan mandibula
Gambaran klinis : karakteristiknya ada ghost cell keratinization biasanya menyerang orang usia

B. Inflamatory
a. Radicular cyst ( periapical cyst)

Suatu kista periapikal (radikuler) merupakan kista odontogenik yang paling umum. Etiologi umumnya adalah sebuah gigi yang menjadi terinfeksi, memicu nekrosis pulpa. Toksin keluar dari akar gigi, memicu inflamasi periapikal. Inflamasi ini merangsang sisa epitel Malassez yang ditemukan dalam ligament periodontal, menghasilkan pembentukan granuloma periapikal yang bias jadi menginfeksi ataupun steril. Secepatnya, epitelium ini berlanjut menjadi nekrosis disebabkan oleh berkurangnya asupan darah, dan granuloma berkembang menjadi kista. Lesi umumnya tidak dapat terdeteksi secara klinis jika masih kecil tetapi paling sering ditemukan sebagai suatu temuan yang insidental atau tidak disengaja pada pemeriksaan radiografi.
Secara radiografi, perbedaan antara suatu granuloma dan kista adalah tidak mungkin, meskipun beberapa orang mengatakan bahwa jika lesi yang sangat besar lebih dicurigai menjadi kista. Keduanya muncul dengan gambaran lesi radiolusen dalam hubungannya dengan akar gigi nonvital. Adakalanya. Lesi ini dapat menjadi sangat besar karena mereka tumbuh sebagai respon terhadap tekanan. Bagaimanapun, granuloma dan kista bukanlah suatu neoplastik.
Secara makroskopik, epitelium merupakan suatu epitelium skuamos stratified nondeskrip tanpa pembentukan keratin. Perubahan peradangan dapat diamati pada dinding kista, dan perubahan ini, pada gilirannya dapat menyebabkan perubahan epitelial (misalnya; ulserasi, atropi, dan hyperplasia). Terutama lesi yang terkena inflamasi, dapat muncul celah kolesterol dan/atau makrofage berbusa.
Beberapa pilihan perawatan yang ada untuk beberapa kista. Kebanyakan kista dapat diatasi dengan terapi endodontik dari gigi yang terlibat. Lesi-lesi ini harus pantau secara radiografi untuk memastikan pemecahannya. Lesi yang gagal untuk diatasi dengan beberapa terapi harus diangkat melalui pembedahan dan diperiksa secara histopatologi. Meskipun kista ini terbentuk dari suatu sisa epitel yang matang dan memiliki potensi yang relatif untuk bertumbuh, kadang-kadang suatu karsinoma sel skuamos dapat muncul de novo dalam suatu kista radikuler, oleh karena itu dianjurkann untuk pemeriksaan histopatologi ari semua jaringan yang diangkat.
- Definisi
Kista radikular adalah suatu kista yang berasal dari sisa-sisa epitel Malassez yang berada di ligamen periodontal, karena suatu infeksi gigi (gangren pulpa, gangren radik) ataupun trauma yang menyebabkan gigi nekrosis.
- Etiologi
Suatu kista radikular mensyaratkan injuri fisis, kimiawi ataupun bakterial yang menyebabkan matinya pulpa, diikuti oleh stimulasi sisa epitel Malassez, yang biasanya dijumpai pada ligamen periodontal.
- Gejala-gejala
Tidak ada gejala yang dihubungkan dengan perkembangan suatu kista, kecuali yang kebetulan diikuti nekrosis pulpa. Suatu kista dapat menjadi cukup besar untuk secara nyata menjadi pembengkakan.
Tekanan kista cukup untuk menggerakkan gigi yang bersangkutan, yang disebabkan oleh timbunan cairan kista. Pada kasus semacam itu, apeks-apeks gigi yang bersangkutan menjadi renggang, sehingga mahkota gigi dipaksa keluar jajaran. Gigi juga dapat menjadi goyang. Bila dibiarkan tidak dirawat, suatu kista dapat terus tumbuh dan merugikan rahang atas atau rahang bawah.
- Diagnosis
Pulpa gigi dengan kista radikular tidak bereaksi terhadap stimuli listrik atau termal, dan hasil tes klinis lainnya adalah negatif, kecuali radiografik. Pasien mungkin melaporkan suatu riwayat sakit sebelumnya. Biasanya pada pemeriksaan radiograf, terlihat tidak adanya kontinuitas lamina dura, dengan suatu daerah rerefaksi. Daerah radiolusen biasanya bulat dalam garis bentuknya, kecuali bila mendekati gigi sebelahnya, yang dalam kasus ini dapat mendatar atau mempunyai bentuk oval. Daerah radiolusen lebih besar dari pada suatu granuloma dan dapat meliputi lebih dari satu gigi, baik ukuran maupun bentuk daerah rerefaksi bukan indikasi definitif suatu kista.
- Diagnosis Banding
Gambaran radiografik kista akar yang kecil tidak dapat dibedakan dari gambaran granuloma. Meskipun suatu perbedaan positif antara suatu kista dan granuloma tidak dapat dibuat dari radiograf saja, sifat-sifat tertentu dapat memberi kesan adanya suatu kista. Suatu kista biasanya lebih besar dari pada granuloma dan dapat menyebabkan akar berdekatan merenggang karena tekanan terus-menerus dari akumulasi cairan kista.
- Bakteriologi
Suatu kista mungkin atau tidak mungkin terinfeksi. Sebagai suatu granuloma, suatu kista menunjukkan suatu reaksi defensif jaringan terhadap iritan ringan. Organisme actinomyces pernah diisolasi dari kista periapikal.
- Histopatologi
Kista radikular terdiri dari suatu kavitas yang dilapisi oleh epitelium skuamus berasal dari sisa sel Malassez yang terdapat didalam ligamen periodontal. Suatu teori pembentukan kista adalah bahwa perubahan inflamatori periradikular menyebabkan epitelium berpoliferasi. Bila epitelium tumbuh dalam suatu massa sel, bagian pusat kehilangan sumber nutrisi dari jaringan periferal. Perubahan ini menyebabkan nekrosis di pusat, suatu kavitas terbentuk, dan tercipta suatu kista
- Perawatan
Pengambilan secara bedah seluruh kista radikular sehingga bersih tidak perlu dilakukan pada semua kasus. Kista di jumpai pada sekitar 42% atau kurang pada daerah rerefaksi akar gigi. Resolusi (hilangnya inflamasi) daerah rerefaksi ini terjadi setelah terapi saluran akar pada 80 sampai 98% kasus. Drainase juga bisa mengurangi tekanan kista pada dinding kavitas tulang dan merangsang fibroplasia dan perbaikan dari perifer lesi.
- Prognosis
Prognosis tergantung pada gigi khususnya, perluasan tulang yang rusak, dan mudah dicapainya perawatan.
Gambaran RO
• Lokasinya
Mendekati apeks gigi-gigi non-vital, tanpa pada permukaan mesial akar gigi, pada pembukaan canal aksesoris atau pada pocket periodontal gigi dalam.
• Batas dan Bentuk
Biasanya memiliki batas kortical. Jika kista menjadi infeksi sekunder, reaksi inflamasi disekitar tulang menyebabkan hilangnya lapisan luar (corteks) atau cortex berubah menjadi lebih banyak pinggiran sklerotik.
• Struktur internal
Pada kebanyakan kasus, struktur internal kista ini adalah radiolusen. Kadang-kadang kalsifikasi distrofik bisa berkembang pada kista lama (menetap), kelihatan seperti penyebaran tipis, radioopasitas kecil.

b. Residual cyst
Kista residual adalah istilah yang sesuai karena tidak ada gigi yang tertinggal dimana dapat mengidentifikasikan lesi. Paling umum, hal ini merupakan sisa dari kista periapikal dari gigi yng telah dicabut. Histologinya merupakan epitelium skuamous stratified nondeskrip.

- Gambaran klinis
• Asymtomatik
• Sering ditemukan pada pemeriksaan RO daerah edentulous
• Mungkin terjadi ekspansi pada rahang atau nyeri pada kasus dengan infeksi sekunder
- Gambaran RO
• Lokasi
 Terjadi pada kedua rahang
 Lebih sering pada mandibula
 Epicenter terletak pada lokasi periapikal
 Pada mandibula ; epicenter selalu diatas canal inferior alveolar nerve
• Batas dan Bentuk
Memiliki garis tepi cortical kecuali jika menjadi infeksi sekunder. Bentuk kista residual ini adalah oval atau bulat.
• Struktur Internal
Radiolusen, kalsifikasi bisa terdapat pada kista lama.
Kista residual dapat menyebabkan displacement gigi atau resorbsi. Kista bisa invaginasi pada antrum maxilla atau menekan saluran inferior alveolar nerve.

c. Paradental cyst
- Kista paradental merupakan kista odontogenik yang mengalami peradangan yang timbulnya disebabkan gigi molar tiga mandibula impaksi yang mengalami perikoronitis. Etiologi kista paradental sampai saat ini belum diketahui dengan pasti, tapi terdapat tiga kemungkinan unruk pembentukannya yakni dari epitel krevikular, dari sisa-sisa epitel Malassez dan dari epitel enamel yang berkurang. Kista ini jarang terjadi, tetapi memiliki karakteristik klinis yakni: terjadi pada gigi molar tiga mandibula yang impaksi, mempunyai riwayat perikoronitis, paling banyak terletak di daerah distal dan distobukal gigi, terjadi pada usia dekade ketiga, dan dari penelitian yang dilakukan, kista ini banyak dijumpai pada orang kulit putih dan pada pria dibanding dengan wanita. Gambaran histopatologi dan radiologi kista paradental ini tidak patognomonik sehingga sering terkacau dengan kista yang lain. Perawatan yang tepat dari kista paradental ini adalah teknik bedah metode enukleasi dengan odontektomi gigi molar tiga mandibula yang terkena. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi rekurensi.
- Kista paradental merupakan suatu kista yang timbul berhubungan dengan gigi yang erupsi sebagian atau penuh dengan pulpa vital. Kebanyakan dari kasus dijumpai pada gigi molar raliang bawah, terutama molar ketiga rahang bawah yang erupsi sebagian dengan riwayat perikoronitis. Gejala klinik yang timbul adalah adanya pembengkakan khususnya pada kista yang melibatkan molar pertama dan molar kedua rahang bawah. Klasifikasi WHO dari kista odontogenik peradangan mencakup kista radikular (residual) dan kista paradental (kista kolateral peradangan, kista bukal infected mandibula). Grup kista paradental secara klinik menimbulkan masalah diagnosis dan terapi bila dihubungkan dengan gigi molar pertama dan molar kedua rahang bawah. Etiologi dan gambaran histologi dari kista paradental, kista kolateral peradangan dan kista bukal infected mandibula adalah identik dan perbedaanya terdapat pada gambaran klinik dan radiografi yang dihubungkan dengan perbedaan gigi yang terlibat dan perbedaan umur dimana gigi tersebut erupsi. Karakteristik radiografi dari kista paradental terlihat bervariasi, umumnya menunjukkan suatu lesi radiolusen yang berbatas jelas superimposed diatas akar dari gigi yang terlibat. Penemuan konsisten pada gambaran histologi dimana kista dilapisi oleh epitel berlapis gepeng hiperplastik non~keratinisasi, Adanya infiltrat sel radang yang kronis didalam jaringan ikat adalah sesuai dengan hipotesis bahwa peradangan adalah penting untuk perkembangan kista ini. Pengangkatan kista dari permukaan akar bukal menunjukkan adanya proyeksi enamel perkembangan yang meluas dari cemento-enamel junction kearah bifurk'asi akar. Anomali enamel perkembangan ini mungkin penting dalam patogenesis kista paradental. Penemuan makroskopis dan mikroskopis mendukung bahwa asal kista paradental adalah epitel enamel yang telah berkurang.
d. Buccal bifurcation cyst
- Gambaran klinis
• Tertundanya erupsi M1 dan M2 mandibula
• Pada pemeriksaan klinis, molar mungkin missing atau puncak cusp lingual bisa abnormal menonjol keluar melalui mukosa, lebih tinggi dari pada posisi cusp buccal.
• Gigi geligi selalu vital
• Hard swelling bisa terdapat pada buccal molar dan jika terdapat infeksi sekunder, pasien bisa merasakan nyeri
- Gambaran RO
• Lokasi
 Paling sering terjadi pada m1 mandibula
 Terkadang terjadi secara bilateral
 Selalu terdapat pada furkasi buccal dari molar yang bersangkutan
• Batas Luar dan Bentuk
 Pada beberapa kasus tidak ada batas luar, lesi bisa sangat halus region radiolusen berlapis pada gambaran akar molar.
 Beberapa kasus, lesi memiliki bentuk sirkular dengan tepi cortical yang tegas
• Struktur Internal
Radiolusen

II. Non-odontogenik
a. Naso- palatine duct cyst (incisive canal cyst)
- Kista ini mengandung sisa duktus nasopalatin organ primitif hidung dan juga pembuluh darah dan serabut saraf dari area nasopalatin.
- Gambaran klinis
• Asimtomatik atau dengan gejala minor yang dapat di tolerir dalam jangka waktu yang lama.
• Kista ini berbentuk kecil, pembengkakan berbatas tegas tepat pada posterior papila palatin.
• Pembengkakan biasanya fluktuan dan berwarna biru jika terdapat di permukaan.
• Perluasan kista dapat berpenetrasi pada plate labial dan mengakibatkan pembengkakan dibawah frenulum labial maksila. Terkadang lesi dapat meliputi rongga hidung dan merusak septum nasal.
• Mengakibatkan gigi geligi menjadi divergen
- Gambaran Radiograf
• Kista ini terletak pada foramen nasopalatin meluas ke posterior untuk melibatkan palatum durum.
• Kista ini berbatas jelas, bayangan dari nasal spine terkadang superimpose yang mengakibatkan kista berbentuk seperti hati.
• Struktur interna radiolusensi secara total, terkadang terjadi kalsifikasi distrofik interna yang mengakibatkan radioopasitis menyebar.
• Efek kista ini mengakibatkan divergensi akar insisif sentral dan resorpsi akar serta pergeseran dari nasal fosa ke arah superior.
b. Nasolabial cyst (nasoalveolar cyst)
- Asal dari kista ini bisa jadi suatu kista fisural yang muncul dari suatu sisa epitel dalam garis fusi globular, lateral nasal, dan prosesus maksila.
- Gambaran klinis
• Pembengkakan unilateral pada pembungkus nasolabial dan dapat menyebabkan nyeri atau ketidaknyamanan jika kista berukuran kecil.
• Jika kista berukuran besar dapat masuk ke dalam kavitas nasal yang dapat menyebabkan obstruksi, pengembangan alae hidung, distorsi nostril hidung da pembesaran bibir atas
- Gambaran Radiograf
• Lokasinya dekat prosesus alveolaris diatas apeks insisif karena kista ini merupakan lesi jaringan lunak sehingga radiograf tidak cukup jelas.
• Lesi berbentuk sirkular atau oval dengan peninggian ringan jaringan lunak pada tepi kista.
• Struktur internal radiolusensi homogen
• Mengakibatkan erosi tulang , peningkatan prosesus alveolar dibawah kista dan apikal insisif, distorsi border inferior fosa nasal.
c. Palatal cyst of infant
d. Lymphoepithelial cyst
e. Gastric heterotropic cyst
f. Tryglosal duct cyst
g. Salivary duct cyst
h. Maxillary antrum associated cyst
i. Soft tissue cyst
j. Pseudo cyst
k. Congenital cys
l. Parasitic cyst
5. Penatalaksanaan kista
a. Enukleasi
- Merupakan proses pengangkatan seluruh lesi kista tanpa terjadinya perpecahan pada kista. Kista itu sendiri dapat dilakukan enukleasi karena lapisan jaringan ikat antara komponen epitelial (melapisi aspek anterior kista) dan dinding kista yang bertulang pada rongga mulut. Lapisan ini akan lepas dan kista dapat diangkat dari kavitas yang bertulang. Proses enukleasi sama dengan pengangkatan periosteum dari tulang. Enukleasi pada kista seharusnya dilakukan secara hati – hati untuk mencegah terjadinya lesi rekuren.
- Indikasi :
• Pengangkatan kista pada rahang
• Ukuran lesi kecil, sehingga tidak banyak melibatkan struktur jaringan yang berdekatan
- Keuntungan :
• Pemeriksaan patologi dari seluruh kista dapat dilakukan
• Pasien tidak dilakukan perawatan untuk kavitas marsupialisasi dengan irigasi konstan
• Jika akses flap mucoperiosteal sudah sembuh, pasien tidak merasa terganggu lebih lama oleh kavitas kista yang ada
- Kerugian :
Jika beberapa kondisi diindikasikan untuk marsupialisasi, enukleasi bersifat merugikan seperti :
• Fraktur rahang
• Devitalisasi pada gigi
• Impaksi gigi
• Banyak jaringan normal yang terlibat
- Teknik :
• Insisi
• Flap mucoperiosteal
• Pembuangan tulang pada aspek labial dari lesi
• Osseous window untuk membuka bagian lesi
• Pengangkatan kista dari kavitas menggunakan hemostate & kuret
• Menjahit daerah pembedahan
• Penyembuhan mukosa & remodelling tulang, dimana terbentuk jaringan granulasi pada dinding kavitas yang bertulang dalam waktu 3-4 hari. Dan remodelling tulang akan terjadi selama 6 – 12 bulan.
b. Marsupialisasi
- Merupakan metode pembedahan yang menghasilkan surgical window pada dinding kista, mengevakuasi isi kista dan memelihara kontinuitas antara kista dan rongga mulut, sinus maksilary atau rongga nasal. Proses ini mengurangi tekanan inrakista dan meningkatkan pengerutan pada kista. Marsupialisasi dapat digunakan sebaga terapi tunggal atau sebagai tahap preeliminary dalam perawatan dengan enukleasi.
- Indikasi :
• Jumlah jaringan yang terluka
Dekatnya kista dengan struktur vital berarti keterlibatan jaringan tidak baik jika dilakukan enukleasi.
Contoh : jika enuklesi pada kista menyebabkan luka pada struktur neurovaskular mayor atau devitalisasi gigi sehat, sebaiknya diindikasikan metode marsupialisasi.
• Akses pembedahan
Jika akses untuk pengangkatan kista sulit, sebaiknya dilakukan marsupialisasi untuk mencegah lesi rekuren.
• Bantuan erupsi gigi
Jika gigi tidak erupsi (dentigerous cyst), marsupialisasi dapat memberikan jalur erupsi ke rongga mulut.
• Luas pembedahan
Untuk pasien dengan kondisi medik yang kurang baik, marsupialisasi merupakan alternatif yang tepat dibandingkan enukleasi, karena prosedurnya yang sederhana dan sedikit tekanan untuk pasien.
• Ukuran kista
Pada kista yang sangat besar, adanya resiko fraktur rahang selama enukleasi. Ini lebih baik dilakukan marsupialisasi, setelah remodelling tulang dapat dilakukan enukleasi.
- Keuntungan :
• Prosedur yang dilakukan sederhana
• Memisahkan struktur vital dari kerusakan akibat pembedahan
- Kerugian :
• Jaringan patologi kemungkinan masih tertinggal di dalam kavitas
• Tidak dapat dilakukan pemeriksaan histologi secara teliti
• Terselip debris makanan akibat adanya kavitas
• Pasien harus irigasi kavitas beberapa kali setiap hari
- Teknik :
• Diberikan antibiotik sistemik, untuk pasien dengan kondisi yang tidak sehat
• Pemberian anastesi lokal
• Aspirasi kista, jika aspirasi dapat memperkuat diagnosis kista, prosedur marsupialisasi dapat dilakukan
• Insisi awal, biasanya sirkular / ellips dan menghasilkan saluran yang besar (1 cm atau lebih besar) di dalam kavitas kista.
• Jika lapisan atas tulang tebal, osseous window dibelah secara hati – hati dengan round bur atau rongeurs
• Pengambilan isi kista
• Menjahit tepi luka hingga membentuk sseperti kantung
• Irigasi kavitas kista untuk menghilangkan beberapa fragmen residual debris
• Masukkan iodoform gauze ke dalam kavitas kista
• Irigasi kavitas rutin selama 2 minggu
• Menjahit daerah pembedahan
c. Enukleasi dengan kuretase
- Dimana setelah dilakukan enukleasi, dilakukan kuretase untuk mengangkat 1 – 2 mm tulang sekitar periphery kavitas kista. Ini dilakukan untuk membuang beberapa sel epitelial yang tersisa pada dinding kavitas.
- Indikasi :
• Jika dokter melakukan pengangkatan keratosis odontogenik, dimana keratosis odontogenik memiliki potensi yang tinggi untuk rekuren.
• Jika terdapat beberapa kista rekuren setelah dilakukan pengangkatan kista
- Keuntungan :
Jika enukleasi meninggalkan sel – sel epitelium, kuretase dapat mengangkat sisa – sisa epitelium tersebut, sehingga kemungkinan untuk rekuren minimal.
- Kerugian :
Kuretase lebih merusak tulang dan jaringan yang berdekatan. Pulpa gigi kemungkinan akan hilang suplai neurovaskularnya ketika kuretase dilakukan dekat dengan ujung akar. Kuretase harus dilakukan dengan ketelitian yang baik untuk mencegah terjadinya resiko ini.
- Teknik :
• Kista dienukleasi atau diangkat
• Memeriksa kavitas serta stryktur yang berdekatan dengannya
• Melakukan kuretase dengan rigasi steril untuk mengangkat lapisan tulang 1 – 2 mm sekitar kavitas kista
• Dibersihkan dan ditutup
d. Marsupialisasi disertai enukleasi
- Dilakukan jika terjadi penyembuhan awal setelah dilakukan marsupialisasi tetapi ukuran kavitas tidak berkurang.
- Teknik :
• Kista pertama kali dimarsupialisasi
• Menunggu penyembuhan tulang, untuk mencegah terjadinga fraktur rahang saat melakukan enukleasi
• Terjadi penurunan ukuran kista
• Dilakukan enukleasi
PERTANYAAN SKENARIO
1. Jenis rontgen dan gambaran radiologis kista
Jenis rontgen secara umum
 Panoramik
 Periapical
Jenis rontgen untuk melihat kista
 Panoramik
Gambaran Ro kista
f. Berbatas tegas
g. Tepi skelrotik jika ada infeksi
2. Pasien sudah berobat sampai 3x tetapi tidak sembuh . why ?
 Karena tidak dilakukan enukleasi dan marsupialisasi
 Penyebabnya tidak dihilangkan
 Dx belum tepat
3. Kenapakah bisa ada ping pong phenomena ?
LI
4. Dalam skenario termasuk jenis odontogenik apa ?
 Kista dentigerous ( soalnya dari gigi 35 tidak tumbuh )
 Dari usia pasien
5. Dx dan DD nya ?
DD : ameoblastoma ( tumor jinak ) ; odontogenic keratocyst
6. Sejak kapan bisa timbul ping pong phenomena ?
LI
7. Apakah kista odontogenik selalu diikutin / ciri khas dengan ping pong phenomena ?
LI
8. Gigi 35 tidak tumbuh , why ? adakah pengaruhnya dengan kista odontogenik ?
Ada pengaruhnya , karena ....... ??? LI
9. Pasien sudah mengalami asimetris tetapi pasien tidak merasakan sakit , berbeda dengan kasus impaksi. Why ?
 Karena tidak ada infeksi
 Pembengkakan terjadi secara perlahan sehingga tidak merasakan sakit
10. Mengapa ada fluktuasi + dan ping pong phenomena + ?
 LI